Cari di Blog ini

Translate

Gunakan Ctrl+F untuk mencari kata dalam halaman ini

Kamis, 25 Februari 2010

Nasehat Hasan Al-Bashry

Bagikan Artikel ini di facebook

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus)

Begitu Umar Ibn Abdul Aziz –yang disebut-sebut sebagai mujaddid penghujung abad I dari kalangan umaraa —diangkat sebagai khalifah, beliau mengirim surat kepada imam Hasan al-Bashary– yang juga disebut-sebut sebagai salah satu mujaddid penghujung abad I dari kalangan 'ulamaa. Dalam suratnya itu, khalifah Umar meminta imam Hasan agar memerikan kriteria al-imaamul 'aadil, penguasa atau pemimpin yang adil.


Imam Hasan pun menjawab dengan kalimat-kalimat yang indah, "Ketahuilah, wahai Amiral mukminin, bahwa Allah menjadikan al-imaamul 'aadil sebagai penegak setiap yang doyong; pembasmi setiap kelaliman; pembaik setiap kerusakan; penguat setiap yang lemah; pembela setiap yang dilalimi; tempat berlindung setiap yang memerlukan pertolongan."

"Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan gembala yang bersikap lembut kepada gembalaannya yang membawanya kepada tempat gembalaan yang paling baik dan menjaganya jangan sampai merumput di tempat yang berbahaya; menjaganya dari binatang buas dan melindunginya dari panas dan dingin."

"Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, bagaikan seorang ayah yang menyintai anaknya yang merawatnya ketika kecil dan mengajarnya hingga besar; bekerja untuknya sepanjang hidupnya dan menabung bagi kepentingannya setelah ia tiada. Al-imaamul 'aadil bagaikan seorang ibu yang belas kasih terhadap anaknya; rela menanggung beban mengandung dan melahirkannya; mendidiknya penuh kesabaran; menjaganya siang-malam; gembira bila anaknya sehat dan sedih bila ada keluhan sakit darinya."

"Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, adalah pengampu anak-anak yatim; gudangnya orang-orang miskin yang merawat bocah-bocah mereka dan meransum orang-orang tua mereka"

"Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, ibarat kalbu di antara bagian-bagian tubuh; bagian-bagian itu akan baik selama ia baik dan akan rusak apabila ia rusak.

"Al-imaamul 'aadil, wahai Amiral mukminin, adalah orang yang berdiri antara Allah dan hamba-hambaNya; mendengarkan firman Allah dan memperdengarkannya kepada mereka, memandang kepada Allah dan memperlihatkan kepada mereka, tunduk kepada Allah dan memimpin mereka.'

"Maka, wahai Amiral mukminin, dalam kekuasaan yang diberikan Allah kepada Anda, janganlah Anda seperti seorang budak yang diberi kepercayaan tuannya untuk menjaga harta dan keluarganya lalu mengangkangi harta dan bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga tuannya itu, sehingga keluarganya menjadi miskin dan hartanya terhambur-hamburkan."

"……………………….."

Sebenarnya surat itu masih panjang, namun yang dikemukakan disini kiranya sudah cukup sebagai cermin bagi para pemimpin atau penguasa atau calon-calon pemimpin atau penguasa.

Umar Ibn Abdul Aziz bukanlah presiden modern dari negara demokratis. Ia adalah khalifah, penguasa negara yang menganut sistem kerajaan. Ia tidak dipilih rakyat dari antara mereka, tapi dicomot dari lingkungan ningrat istana. Karenanya, ia tentu saja sudah terbiasa dengan kemewahan hidup. Kalau ketika 'hanya' menjadi keluarga istana saja, dia sudah bergelimang kemewahan; maka saat menjadi khalifah –seandainya ia mau— kesempatan untuk lebih bermewah-mewah lagi jelas sangat terbuka. Dia penguasa tunggal dan kekuasaannya tidak terbatasi. Presiden negara demokratis yang kekuasaannya tidak tak terbatas saja, kemewahannya kadang luar biasa.

Begitu diangkat menjadi khalifah, yang pertama dilakukan Umar Ibn Abdul Aziz, bukan berkonsultasi kepada yang lain, tetapi kepada Hasan al-Bashary. Seorang tokoh ulama yang mumpuni yang dijuluki Syeikhul Islam dan Sayyidut Taabi'ien yang ketika wafat tahun 110 H tak ada seorang pun penduduk Bashrah yang tak keluar melayatnya. Rahimahullah.

Al-Bashary, meski diminta oleh dan memberi nasihat kepada khalifah, ia bukanlah semacam tokoh disini sekarang yang sering disebut pers sebagai penasihat spiritual. Umumnya yang disebut penasihat spritual penguasa sejak zaman Soekarno, tak lebih dari dukun atau paranormal yang sama sekali tak mudheng tentang kehendak Allah dan persoalan negara. Karenanya nasihat-nasihatnya belum pernah membawa kemaslahatan, bahkan sering kali malah menambah kacau negeri ini saja.

Lihatlah penggalan nasihat Hasan al-Bashary di atas. Itulah nasihat spiritual. Itulah nasihat ulama yang arif. Mana kini ada nasihat kepada pemimpin atau penguasa seperti itu? Atau mana sekarang ada pemimpin atau penguasa mau meminta nasihat kepada orang waras seperti itu? Kalau pun ada, mana ada pemimpin atau penguasa yang mau mendengarkannya? Kalau pun ada mana ada yang mau menjadikannya sebagai pedoman? Pemimpin atau penguasa sekarang –satu dan lain hal karena terlampau sadar akan kelebihannya-- rata-rata terlalu angkuh untuk menerima hidayah.

Umar Ibn Abdul Aziz yang raja, yang kekuasaannya tak terbatas itu, bukan saja meminta dan mendengarkan nasihat Hasan al-Bashary, tapi benar-benar menjadikannya sebagai pedoman. Baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin dan kepala negara. Kesederhanaan dan tawadluknya, kalau diceritakan sekarang, pasti kedengaran seperti dongeng. Sejak menjadi khalifah hingga wafat, misalnya, dia tidak pernah sujud menggunakan alas sajadah sebagaimana kita yang –untuk merendah bersujud kepada Allah pun-- masih repot memikirkan kemuliaan dan kebersihan kening kita sendiri. Meski sebagai khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz tidak pernah kehilangan kesadarannya sebagai hamba Allah.

Meskipun tidak ada undang-undang dasar negaranya yang menyatakan –seperti pasal 34 UUD kita-- 'Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara negara', khalifah Umar tak membiarkan ada warga negaranya yang terlantar dan fakir miskin yang tak tersantuni. Umar Ibn Aziz begitu adil hingga dijuluki Umar Kedua dan begitu arif hingga dijuluki Khalifah Rasyidin Kelima. Maka negerinya pun barakah dan ia dicintai rakyatnya sebagaimana ia mencintai mereka. Pemimpin atau penguasa yang baik adalah mereka yang ditaati karena dicintai, bukan karena ditakuti atau diincar manfaatnya seperti kebanyakan pemimpin dan penguasa kita.

Kita sangat merindukan pemimpin dari kalangan umara yang memiliki sedikit saja kesederhanaan, ketawadlukan, dan keadilan Umar Ibn Abdul Aziz. Kita merindukan pemimpin dari kalangan ulama yang memiliki sedikit saja keluasan pandangan, keberanian, dan kearifan Hasan al-Bashary. []

KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.

Sumber : pratikno.ananto@gmail.com

Bagikan Artikel ini di facebook




Lainnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar