Cari di Blog ini

Translate

Gunakan Ctrl+F untuk mencari kata dalam halaman ini

Sabtu, 31 Juli 2010

Gratis $10 Dari IM Crew Paling lambat 1 Agustus 2010


IM Crew sedang dalam masa pre-launch, bagi pendaftar dalam masa pre-launch ini akan mendapatkan bonus pendaftaran $10 (10 US Dolar), dan mendapatkan $2 dari setiap pendaftar yang kita referensikan. Pre-launch ini terakhir 1 Agustus 2010.
Silakan mendaftar Gratis KLIK DISINI atau klik gambar di atas

Berikut adalah penjelasan dari IM Crew :

Until the 1st of August, we are in the pre-launch stage. At the moment you can earn money by referring other users to join Imcrew - You will earn $2 for every active referral. Use your referral link to do this. After the 1.st of August You will be able to earn money by Reading and Sharing articles what we will provide to you, you will be able to earn up to $1275/month by doing this. So Copy your Referral link and give it to everyone you know- because you will be able to earn $2 for everyone you refer and also 20% of their Revenue what they get from reading and sharing articles.


Terjemahan Google Translate :

Sampai 1 Agustus, kita berada dalam tahap pre-launch. Saat ini Anda bisa mendapatkan uang dengan merujuk pengguna lain untuk bergabung Imcrew - Anda akan mendapatkan $ 2 untuk setiap referal yang aktif. Gunakan link referral Anda untuk melakukan hal ini. Setelah 1.st Agustus Anda akan mampu menghasilkan uang dengan Membaca dan Berbagi artikel apa yang kami akan memberikan kepada Anda, Anda akan dapat memperoleh hingga $ 1275/month dengan melakukan hal ini. Jadi Salin link Referral Anda dan memberikannya kepada setiap orang yang Anda tahu-karena Anda akan dapat mendapatkan $ 2 untuk setiap orang yang Anda lihat dan juga 20% dari Pendapatan mereka apa yang mereka dapatkan dari membaca dan berbagi artikel.


FAQ :

What is Imcrew?
-- Imcrew.com is a new innovative, international Membership system where members will be able to learn new methods to make money online with detailed step by step instructions after the ImCrew prelaunch which lasts until 1st of August. Best of all this will be totally free, and you will have a chance to earn extra money by promoting articles which Imcrew.com will provide for you with and you will also learn how to do this and where to do this.

How do I earn money??
--At the moment until 1st of August you can earn $2 for every active friend you refer to Imcrew using your personal referral link which can be found at your account. You will be able to cash out these prelaunch earnings along with your first earnings from Imcrew when it is officially launched.

? How much can I expect to make?
--At the moment you can refer your friends and this will allow you to make $2 for each active referral you get plus if you promote our articles you can earn $0.002 for each visitor you bring to the article, we have Fully tested this system out and by using our methods which we will teach you regarding our article promoting we were able to get about 1200 visitors for 15 minutes work done which would allow you to earn $2.4 - So If you work 2 hours per day Promoting our articles you can expect to earn $20. Also if you refer for example 100 members you would be able to earn also 20% of whatever they earn.

? How will I be paid?
--Payments will be made through PayPal, if your country doesn't supports PayPal you will be able to withdraw the money that you have earned through bank wire transfer for an extra $8 transaction fee deducted from the money you earned.

? How can I earn $2 for each Member referred?
--As soon as you refer someone through your referral link which you can find in your account you will receive $2 in your Pending account balance. The $2 will be credit to real money balance after the prelaunch if in 1 month time up to 15th of August,2010 your referred referral will login in his account and get at least 50 article views ( which would be about 5-10minutes job for your referred referral to do ).

? When do I get paid?
--Payments after the prelaunch period is over will be sent at the 30th of every month (or the next business day) for your previous month earnings. For example If you were to earn $50 in August, you would receive your $50 payment in PayPal on the 30th Of September.

? What's the cost?
--Nada, Zip, Zilch! As a Member of Imcrew, you never owe us a dime?that?s our responsibility to you.

? What's the Minimum Payout?
--For PayPal its $20, for Bank Wire transfer to any country it's $100

? How do I access my reports?
--After you Register and login in your account you?ll immediately have access to your personal page where all details of your efforts are.

? Do you support International Members?
--Absolutely! Any member from any Country can join

? How can I contact if I have any questions?
--You can contact us through email: imcrewx@gmail.com

? Can other people in my household join?
--They must have a valid unique e-mail address to register with our program. As far as cheating goes, our software detects users who create fictitious accounts and use the same computer so if someone else in your household wants to join and will legitimately use their account; you shouldn't be flagged for abuse.

? Can I have more than one account?
--No. There is no need to maintain more than one account and it's not allowed at Imcrew. If you've lost your login information, you can request to have it sent to your e-mail address. If you are caught with more than one account open (we have a very strict auditing process before payments are sent) your account(s) will be terminated, your IP address(es) will be banned and you will not receive the money you earned.

? My network, school or ISP all use the same or randomly used IP addresses, can I join?
--Yes, this is fine. The same general rule applies from the previous question.

? How do I refer others?
--Use your unique referral code found in your member area when you login in your account

? How can I cancel my account?
--Inactive accounts are automatically cancelled after a certain time.

? Why I have not received my welcome email or password request?
--You need to make sure that mail from the imcrew.com domain is not being blocked , or being transferred to spam or Junk folder. If you still don't receive your requested information after registration you can try to register with another email provider such as gmail.com and yahoo.com

? How often are the statistics updated?
--Stats are updated immediately.


Terjemahan Google Translate :

Apa Imcrew?
- Imcrew.com adalah sebuah inovasi baru, Keanggotaan sistem internasional di mana para anggota akan dapat belajar metode baru untuk membuat uang secara online dengan rinci langkah demi langkah petunjuk setelah ImCrew prelaunch yang berlangsung hingga 1 Agustus. Terbaik dari semua ini akan benar-benar gratis, dan Anda akan memiliki kesempatan untuk mendapatkan uang ekstra dengan mempromosikan artikel yang Imcrew.com akan menyediakan untuk Anda dan Anda juga akan belajar bagaimana melakukan ini dan di mana untuk melakukan hal ini.

Bagaimana cara mendapatkan uang?
- Pada saat ini sampai Agustus 1 Anda bisa mendapatkan $ 2 untuk setiap teman aktif Anda lihat Imcrew menggunakan arahan link pribadi Anda yang dapat ditemukan di account Anda. Anda akan dapat uang tunai dari laba prelaunch ini bersama dengan penghasilan pertama Anda dari Imcrew ketika secara resmi diluncurkan.

? Berapa banyak yang dapat saya harapkan untuk membuat?
- Pada saat Anda dapat merujuk teman dan ini akan memungkinkan Anda untuk menghasilkan $ 2 untuk setiap referal yang aktif Anda mendapatkan plus jika Anda mempromosikan artikel kami anda bisa mendapatkan $ 0,002 untuk setiap pengunjung Anda membawa artikel, kami telah penuh diuji sistem ini keluar dan dengan menggunakan metode kami yang kami akan mengajar Anda tentang artikel kami mempromosikan kami bisa mendapatkan sekitar 1200 pengunjung selama 15 menit kerja yang dilakukan yang akan memungkinkan Anda untuk mendapatkan $ 2.4 - Jadi Jika Anda bekerja 2 jam per hari Mempromosikan artikel kami Anda dapat mengharapkan untuk mendapatkan $ 20. Juga jika Anda lihat misalnya 100 anggota Anda akan bisa dapat juga 20% dari apa pun yang mereka peroleh.

? Bagaimana saya akan dibayar?
- Pembayaran akan dilakukan melalui PayPal, jika negara anda tidak mendukung PayPal Anda akan mampu menarik uang yang telah diperoleh melalui kawat transfer bank dengan biaya transaksi 8 $ tambahan dikurangi dari uang yang diterima.

? Bagaimana saya bisa mendapatkan $ 2 untuk setiap Anggota dimaksud?
- Begitu Anda lihat seseorang melalui link referral Anda yang dapat Anda temukan dalam account Anda, Anda akan menerima $ 2 dalam saldo account Anda Pending. The $ 2 akan kredit untuk keseimbangan uang riil setelah prelaunch jika dalam 1 bulan sampai dengan 15 Agustus 2010 arahan dimaksud akan login di account-nya dan mendapatkan pandangan setidaknya 50 artikel (yang akan menjadi sekitar 5-10minutes pekerjaan untuk Anda dimaksud arahan yang harus dilakukan).

? Kapan saya menerima pembayaran?
- Pembayaran setelah masa prelaunch selesai akan dikirim pada tanggal 30 setiap bulan (atau hari kerja berikutnya) untuk penghasilan bulan sebelumnya. Sebagai contoh Jika Anda mendapatkan $ 50 pada bulan Agustus, Anda akan menerima pembayaran Anda sebesar $ 50 di PayPal pada tanggal 30 Of September.

? Apa biaya?
- Nada, Zip, nihil! Sebagai Anggota Imcrew, Anda tidak pernah berutang kami sepeser pun? Itu? Tanggung jawab kami kepada Anda.

? Apa Minimum Payout?
- Untuk PayPal nya $ 20, untuk Wire transfer Bank ke negara itu $ 100

? Bagaimana cara mengakses laporan saya?
- Setelah Anda Daftar dan login dalam account Anda? Ll segera memiliki akses ke halaman pribadi Anda di mana semua rincian dari usaha Anda.

? Apakah Anda mendukung Anggota Internasional?
- Tentu saja! Setiap anggota dari Negara manapun dapat bergabung

? Bagaimana dapat saya hubungi jika saya memiliki pertanyaan?
- Anda dapat menghubungi kami melalui email: imcrewx@gmail.com

? Dapatkah orang lain dalam rumah tangga saya bergabung?
- Mereka harus memiliki alamat e-mail yang valid unik untuk mendaftar dengan program kami. Sejauh kecurangan berjalan, perangkat lunak kami mendeteksi pengguna yang membuat account fiktif dan menggunakan komputer yang sama jadi jika orang lain di rumah Anda ingin bergabung dan sah akan menggunakan account mereka, Anda tidak harus ditandai untuk penyalahgunaan.

? Dapatkah saya memiliki lebih dari satu account?
- No. Tidak perlu untuk mempertahankan lebih dari satu account dan itu tidak diizinkan di Imcrew. Jika Anda kehilangan informasi login Anda, Anda dapat meminta untuk dikirimkan ke alamat e-mail. Jika Anda terjebak dengan lebih dari satu account yang terbuka (kami memiliki proses audit yang sangat ketat sebelum pembayaran dikirim) account Anda (s) akan dihentikan, alamat IP (es) akan diblokir dan Anda tidak akan menerima uang Anda mendapatkan .

? jaringan saya, sekolah atau ISP semua menggunakan yang sama atau digunakan secara acak alamat IP, bisa saya bergabung?
- Ya, ini baik-baik saja. Aturan umum yang sama berlaku dari pertanyaan sebelumnya.

? Bagaimana saya lihat orang lain?
- Gunakan kode referral Anda yang unik yang ditemukan di member area Anda ketika Anda login di akun Anda

? Bagaimana saya dapat membatalkan account saya?
- Account tidak aktif secara otomatis dibatalkan setelah waktu tertentu.

? Mengapa saya belum menerima email saya atau menerima permintaan sandi?
- Anda harus memastikan bahwa mail dari domain imcrew.com ini tidak diblokir, atau dipindahkan ke folder spam atau Junk. Jika Anda masih tidak menerima informasi yang Anda minta setelah pendaftaran Anda bisa mencoba untuk mendaftar dengan penyedia layanan email lainnya seperti gmail.com dan yahoo.com

? Seberapa sering statistik diperbarui?
- Statistik diperbarui segera.

------------------------

Demikian, Silakan mendaftar Gratis KLIK DISINI


Selengkapnya....

Selasa, 27 Juli 2010

Hadratus Syaikh KH M. Hasyim Asy'ari

Pendiri NU, Satu Guru dengan Pendiri Muhammadiyah

Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, "Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya." Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan," katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.

Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku 'Tradisi Pesantren', mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.


Mendirikan NU

Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.

Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur'an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.


Keturunan Raja Pajang

Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.

Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di tempat mulia di sisi-Nya. Amin.


Dari berbagai sumber...Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com


Selengkapnya....

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jombang


Latar Belakang Keluarga

Abdurrahman “Addakhil”, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya.

Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.


Pengalaman Pendidikan

Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy’ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur’an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur’an. Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.

Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai berbagai media massa.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada K.H. Ma’sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.

Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.

Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.

Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran. Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.

Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.

Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.

Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.

Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.

Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal kariernya.

Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.


Perjalanan Karir

Sepulang dari pegembaraanya mencari ilmu, Gus Dur kembali ke Jombang dan memilih menjadi guru. Pada tahun 1971, tokoh muda ini bergabung di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun kemudian ia menjadi sekretaris Pesantren Tebu Ireng, dan pada tahun yang sama Gus Dur mulai menjadi penulis. Ia kembali menekuni bakatnya sebagaii penulis dan kolumnis. Lewat tulisan-tulisan tersebut gagasan pemikiran Gus Dur mulai mendapat perhatian banyak. Djohan Efendi, seorang intelektual terkemuka pada masanya, menilai bahwa Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya tersendiri. Sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan foot note.

Pada tahun 1974 Gus Dur diminta pamannya, K.H. Yusuf Hasyim untuk membantu di Pesantren Tebu Ireng Jombang dengan menjadi sekretaris. Dari sini Gus Dur mulai sering mendapatkan undangan menjadi nara sumber pada sejumlah forum diskusi keagamaan dan kepesantrenan, baik di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya Gus Dur terlibat dalam kegiatan LSM. Pertama di LP3ES bersama Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan pesantren, kemudian Gus Dur mendirikan P3M yang dimotori oleh LP3ES.

Pada tahun 1979 Gus Dur pindah ke Jakarta. Mula-mula ia merintis Pesantren Ciganjur. Sementara pada awal tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai wakil katib syuriah PBNU. Di sini Gus Dur terlibat dalam diskusi dan perdebatan yang serius mengenai masalah agama, sosial dan politik dengan berbagai kalangan lintas agama, suku dan disiplin. Gus Dur semakin serius menulis dan bergelut dengan dunianya, baik di lapangan kebudayaan, politik, maupun pemikiran keislaman. Karier yang dianggap ‘menyimpang’-dalam kapasitasnya sebagai seorang tokoh agama sekaligus pengurus PBNU-dan mengundang cibiran adalah ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986, 1987.

Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan ketua umum PBNU pada muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali dikukuhkan pada muktamar ke-28 di pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan ketua umum PBNU kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4. Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid.

Catatan perjalanan karier Gus Dur yang patut dituangkan dalam pembahasan ini adalah menjadi ketua Forum Demokrasi untuk masa bakti 1991-1999, dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya kalangan nasionalis dan non muslim. Anehnya lagi, Gus Dur menolak masuk dalam organisasi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Tidak hanya menolak bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ tersebut dengan organisasi sektarian.

Dari paparan tersebut di atas memberikan gambaran betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya, bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua dialami.

Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann Agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gus Dur. Kisah tentang Kyai Fatah dari Tambak Beras, KH. Ali Ma’shum dari Krapyak dan Kyai Chudhori dari Tegalrejo telah membuat pribadi Gus Dur menjadi orang yang sangat peka pada sentuhan-sentuhan kemanusiaan.

Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.


Penghargaan
  • Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
  • Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
  • Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
  • Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
  • Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
  • Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
  • Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
  • Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
  • Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
  • Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
  • Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
  • Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
  • Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
  • Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003

Nama : Abdurrahman Wahid

Lahir : Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.

Orang Tua : Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).

Istri : Sinta Nuriyah

Anak-anak :
  1. Alisa Qotrunada
  2. Zannuba Arifah
  3. Anisa Hayatun Nufus
  4. Inayah Wulandari

Pendidikan:
  • Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
  • Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
  • Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)

Karir:
  • Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
  • Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
  • Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
  • Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
  • Ketua Forum Demokrasi (1990)
  • Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
  • Anggota MPR (1999)
  • Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)

Penghargaan:
  • Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
  • Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)


Dari berbagai sumber...Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com


Selengkapnya....

KH. Abdul Wahab Chasbullah, Jombang

Perintis Tradisi Intelektual NU

Profil Singkat

Lahir : Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur

Wafat : 29 Desember 1971


Pendidikan :
  • Pesantren Langitan Tuban
  • Pesantren Mojosari, Nganjuk
  • Pesantren Tawangsari, Surabaya
  • Pesantren Bangkalan, Madura
  • Pesantren Tebuireng, Jombang
  • Makkah Mukkaramah

Pengabdian :
  • Pendiri Tashwirul Afkar
  • Pendiri Nahdatul Wathan
  • Pendiri Syubbanul Wathan
  • Pendiri Nahdlatul Ulama
  • Pendiri SI Cabang Makkah
  • pemrakarsa Komite Hijaz
  • Rois' Am PB Syuriyah NU

Agak sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok KH. Abdul Wahab Chasbullah, tokoh sentral pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Untuk lebih mendekati kebenaran, kita harus pinjam istilah KH. Abdul Wahid Hasyim yang menyebut kyai Wahab sebagai "kyai merdeka". Dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling. Bukan "pak turut", kata almarhum Kyai Haji Saifuddin Zuhri. Bahkan sampai cara berbicara, berjalan dan berpakaian beliau tidak menjiplak orang lain.

Di zaman revolusi, baju kesayangannya adalah potongan safari lengan panjang berwarna khaki dengan kemeja putih yang lehernya dikeluarkan, persis tokoh-tokoh muda zaman sekarang. Tetapi ini yang penting, tetap mengenakan sarung dan serban. Pakaian semacam itu dikenakan pada waktu berada di parlemen, Istana Presiden atau di front pertemuan. Pendirian politiknya maupun pendirian hukum agamanya dikemukakan tanpa ragu-ragu, jelas dan terbuka. Tidak gentar menghadapi reaksi dari mana pun. Jika menurut keyakinannya sesuai dengan hukum Islam, dikemukakan tanpa tedeng aling-aling.

Profil kyai amat berpengaruh ini seolah memberikan penegasan bahwa:

Pertama, Kyai Wahab adalah ulama pesantren tulen dengan ciri khas mengenakan kain sarung dan serban. Kemana saja pergi, beliau selalu mengenakan kedua pakaian itu, hatta ketika berada di medan perang sekalipun. Mengenai serban ini, menurut penuturan KH. Saifuddin Zuhri, ada anekdot menarik.

Suatu ketika, Kyai Wahab berbicara dalam sidang parlemen. Sebelum naik ke podium beliau terlebih dahulu membetulkan letak serbannya. Pada saat itu ada mulut usil nyeletuk, "Tanpa serban kenapa sih?" Sambil menunjuk serbannya, Kyai Wahab kontan menjawab, "Serban Diponegoro!" Ketika berdiri di podium sang kyai, sambil menunjuk serbannya berkata, "Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar, semuanya pakai serban." Karuan saja ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen;

Kedua, Kyai Wahab adalah seorang intelektual yang salah satu cirinya adalah berjiwa bebas, berpikir merdeka dan tidak mudah terpengaruh lingkungan; dan

Ketiga, Kyai Wahab adalah seorang politisi kawakan yang dekat dengan presiden. Di samping, tentu saja sebagai seorang pejuang, karena beliau berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang.


Intelektualitas dan Joke

Pengembaraan intelektual Kyai Wahab mempunyai benang merah yang jelas dan bisa ditelusuri melalui berbagai aktivitas beliau sepanjang hidupnya. Dimulai dengan mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914 bersama KH. Mas Mansur, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, sampai memberikan inspirasi dan sekaligus membidani lahirnya Nahdlatul Ulama.

Yang dirintis oleh Kyai Wahab sekitar tahun 1920 dengan mengadakan kontak dan kerjasama dengan Dr. Soetomo di dalam Islam Studie Club adalah cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerjasama antara kekuatan Islam dan nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa. Bukanlah seorang intelektual jika Kyai Wahab tidak bisa memecahkan persoalan-persoalan pelik dengan spontan, cerdas dan memiliki joke-joke dan humor yang tinggi. Dalam hal yang satu ini Kyai Wahab adalah jagonya.

Ketika terjadi perdebatan di kalangan tokoh Masyumi mengenai ikut atau tidaknya dalam Kabinet Hatta, yang salah satu programnya adalah melaksanakan Persetujuan Renville yang ditolak Masyumi, Kyai Wahab tampil memecahkan persoalan disertai joke-joke jitu. Kyai Wahab mengusulkan agar Masyumi terlibat dalam Kabinet Hatta. Pertimbangannya jika Masyumi terlibat di dalam, akan lebih mudah menentang kebijaksanaan kabinet tersebut. Forum ternyata menyetujui usul itu setelah melalui perdebatan seru.

Kyai Haji Raden Hajid tokoh Muhammadiyah, menanyakan kepada Kyai Wahab, "Setiap calon menteri yang akan duduk dalam kabinet tersebut harus mempunyai niat bagaimana?". Dijawab Kyai Wahab, "Niatnya I'zalul munkarat (melenyapkan yang mungkar)." "Kalau begitu, niatnya harus dilafalkan," usul Kyai Hajid. Dengan spontan Kyai Wahab menimpali, "Mana dalil al-Qur'an dan haditsnya mengenai talaffuzh bin niyyat (melafalkan niat)?" Serentak hadirin tertawa riuh. Sebagaimana diketahui kedua tokoh ini mewakili dua organisasi yang berbeda pendapat dalam harus atau tidaknya mengucapkan lafal niat (ushalli) dalam shalat; pengikut NU selalu melafalkan niat, sedangkan Muhammadiyah tidak. Lha kok dalam masalah Renville ini menjadi terbalik, jadi lucu terdengarnya.


Kecil tetapi Gagah

Kyai Wahab selalu dilukiskan sebagai orang yang energik, penuh semangat, ramah dan berwibawa. Kulitnya sedikit hitam, tetapi tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih. Konon Kyai ini sulit untuk marah dan dendam karena sifat dan penampilannya yang humoris. "Meskipun orangnya kecil, beliau tampak selalu bersikap gagah," kata Kyai Haji Saifuddin Zuhri, salah seorang pengagumnya. Selanjutnya dilukiskan oleh Kyai Saifuddin Zuhri bahwa Kyai Wahab adalah ulama dengan pengetahuan yang sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba baru dan mengandung nilai-nilai kebenaran yang mempesona. Kyai Wahab bukan termasuk golongan ulama "klise" karena tindak tanduk dan tutur katanya orisinal, keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Tidak pernah beliau merasa canggung berbicara di muka ribuan manusia sekalipun dengan dilakukan mendadak, tetapi juga tidak pernah kecewa bila yang mengerumuni cuma sedikit orang. Kecerdasan otaknya dilengkapi dengan retorika yang baik, menjadikan setiap uraiannya terdengar menarik. Topik pembicaraannya bisa dari masalah bela diri pencak sampai bom atom, dari onderdil mobil sampai masalah aparatur negara, dari masalah kasidah dan perwayangan hingga masalah land reform dan sosialisme.

Bagi warga NU, Kyai Wahab tidak sekadar bapak dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, melainkan sebagai simbol dalam banyak hal, dari tradisi intelektual di kalangan ulama pesantren sampai lambang pemersatu. Diceritakan bahwa Kyai Wahab mendirikan, memelihara dan membesarkan NU dengan ilmunya, baru kemudian dengan hartanya dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut Kyai Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud kelompok kecil yang tidak diperhitungkan orang sampai menjadi partai politik dan jam'iyah Islam terbesar di Indonesia.


Lahir dan Besar di Pesantren

Kyai Wahab lahir dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah pada bulan Maret 1888 di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh Pondok Tambakberas masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama dari Jombang, yaitu Kyai Haji Hasyim Asy'ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan Kyai Abdussalam. Konon jika diurut ke atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.

Sepeninggal isteri pertamanya di Mekkah sewaktu menjalankan ibadah haji tahun 1921, Kyai Wahab memperisteri Alawiyah, puteri Kyai Alwi. Setelah memperoleh seorang anak, isteri keduanya ini pun meninggal. Sesudah itu Kyai Wahab pernah tiga kali menikah, tetapi tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak. Kemudian kawin lagi dengan Asnah, puteri Kyai Said, pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya Kyai Nadjib (almarhum) yang melanjutkan mengasuh Pesantren Tambakberas.

Setelah Asnah meninggal, Kyai Wahab menikah dengan Fatimah, anak Haji Burhan dan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri, diantaranya Kyai Haji A. Sjaichu. Setelah itu Kyai Wahab pernah kawin dengan Masmah, memperoleh seorang anak. Kawin dengan Ashikhah, anak Kyai Abdul Madjid Bangil, yang meninggal setelah beribadah haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir Kyai Wahab memperisteri Sa'diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya pada 1971 dan memperoleh lima orang anak.

Seperti kebanyakan pola hidup yang diterapkan dipesantren, Kyai Wahab juga menganut pola hidup sederhana, meskipun dia tidak bisa digolongkan sebagai tidak berkecukupan. Untuk memenuhi nafkah keluarganya, Wahab berdagang apa saja asal halal. Diantaranya pernah berdagang nila dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Kebanyakan dari bidang usahanya itu dipercayakan kepada orang lain dengan cara bagi hasil.

Bekal utama bagi pendidikan Wahab kecil yang diberikan sendiri oleh ayahnya adalah pelajaran agama dan membaca al-Qur'an serta tasawuf. Baru sesudah dipandang cukup, Wahab berkelana ke berbagai pesantren untuk berguru, di antaranya di Pesantren Langitan, Tuban; Mojosari, Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh; Pesantren Cepoko; Pesantren Tawangsari, Surabaya; Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, dan langsung berguru kepada Kyai Cholil yang masyhur itu. Oleh Kyai Cholil, Kyai Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng, Di berbagai pesantren inilah kehidupan Wahab ditempa dan dia mempelajari banyak kitab penting keagamaan sampai mahir betul.

Pada usia 27 tahun Kyai Wahab meneruskan perjalanannya ke Mekkah. Di kota suci itu dia bertemu dan kemudian berguru dengan Ulama-Ulama terkenal diantaranya Kyai Machfudz Termias, Kyai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asya'ri Bawean, Syaikh Said al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kyai Wahab. Melihat riwayat pendidikannya tersebut, tidak heran jika di kalangan Ulama dan para pejuang sebayanya waktu itu Kyai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya.


Sebagai Pemikir-Pejuang

Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Kyai Wahab Chasbullah sesungguhnya sudah mulai tampak di pesantren. Di sela-sela kegiatan belajar, Wahab memimpin kelompok belajar dan diskusi santri secara rutin. Dalam kelompok itu dibahas masalah sosial kemasyarakatan, di samping pelajaran agama. Tidak heran jika sepulang dari berbagai pesantren, Kyai Wahab sama sekali tidak canggung terjun ke masyarakat, mempraktikkan apa yang sudah dipelajari.

Melihat kenyataan sosial yang waktu itu sedang dalam tekanan penjajah Belanda dengan berbagai akibatnya, Kyai Wahab berpikir keras bagaimana dapat menyumbangkan pikirannya yang progresif untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah kemudian Kyai Wahab melakukan kontak dengan teman-teman belajarnya, baik sewaktu di pesantren maupun ketika menuntut ilmu di Tanah Suci untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya bersama Kyai Mas Mansur kawan mengaji di Mekkah, dia membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain seluruh Jawa. Tampaknya kelompok ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas pemrakarsa kelompok ini memasukkan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajahan. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik. Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Wahab masih bersama Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai M. Bisri Syansuri Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma'shum dan Kyai Cholil Lasem . Di kalangan pemudanya disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang di dalamnya, antara lain ada nama Abdullah Ubaid. Dalam kelompok inilah Kyai Wahab mulai memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme. Sayang sekali hanya karena perbedaan khilafiyah saja duet Wahab-Mas Mansur harus retak dan kemudian berpisah. Jika tidak, mungkin perkembangan sejarah ormas Islam atau lebih besar lagi umat Islam Indonesia akan berbicara lain. Perbedaan pandangan dengan Mas Mansur tidak menjadikan Wahab mundur dari penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri Al-Irsyad, Syaikh Achmad Syurkati di Surabaya misalnya, Kyai Wahab tidak segan-segan melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Sedangkan dengan tokoh pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Wahab sering bertandang ke Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya. Dan ketika kaum terpelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum pergerakan, Kyai Wahab tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanfaatkan forum tersebut. Dalam forum inilah Kyai Wahab berkawan akrab dengan Dr. Soetomo dan lain-lain.

Tidak bisa disangkal lagi bahwa melalui Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal seperti ini menimbulkan dampak makin bergelora semangat cinta tanah air di kalangan pemuda. Akan tetapi juga tidak bisa dihindari, karena terjadinya gesekan kepentingan dan makin menajamnya perselisihan paham keagamaan antar tokoh agama, timbul polarisasi yang tajam di kalangan mereka, meskipun tidak sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita memerdekakan Indonesia. Kyai Haji Mas Mansur misalnya' harus kembali ke organisasinya, Muhammadiyah dan Kyai Wahab terus melanjutkan penggalangan solidaritas ulama dalam forum tersebut.

Kristalisasi di kalangan organisasi tersebut makin keras bersamaan dengan munculnya khilafat baik di Turki maupun di Saudi Arabia yang kemudian ditarik garis lurusnya yang bermuara pada masalah perselisihan paham keagamaan. Yaitu terjadinya perselisihan antara paham Islam bermazhab dan tidak bermazhab.

Menjawab tantangan yang diakibatkan oleh perselisihan ini pada mulanya tokoh-tokoh seperti Kyai Wahab, HOS. Cokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim dan Kyai Mas Mansur sendiri masih menampung seluruh aspirasi umat dengan cara sebaik-baiknya. Akan tetapi, ketika menentukan siapa yang harus berangkat ke Kongres Khilafat di Timur Tengah, situasi makin meruncing. Buntut dari diabaikannya keterlibatan ulama pesantren dalam Kongres Khilafat itu, muncullah kelompok yang di kemudian hari terkenal dengan Komite Hijaz. Komite ini mengirimkan delegasi ke Mekkah, terdiri atas Kyai Wahab dan Syaikh Ghanaim, yang akhirnya berhasil menggolkan misinya di hadapan Raja Saud.


Perjuangan Politik

Akhirnya sampailah pada saat yang amat bersejarah, yaitu ketika pada 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz, diantaranya Kyai Wahab, Kyai M. Bisri Syansuri, Kyai Ridwan Semarang, Kyai Haji Raden Asnawi Kudus, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Nachrowi Malang dan Kyai Alwi Abdul Aziz Surabaya, berembuk dan menyimpulkan dua hal pokok :

Pertama, mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Saud agar hukum-hukum menurut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya; dan

Kedua, membentuk suatu jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab tersebut.

Nama Nahdlatul Ulama diusulkan oleh Kyai Haji Alwi Abdul Aziz Surabaya. Ketika penyusunan kepengurusan, Kyai Wahab konon tidak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar dan merasa cukup dengan jabatan Katib 'Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada Kyai Haji Hasyim Asy'ari Jombang, sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo.

Demikianlah, Nahdlatul Ulama telah lahir. Dalam waktu yang relatif singkat 10 tahun, organisasi yang semula hanya berlingkup lokal Surabaya ini bisa melebarkan sayapnya dan diterima oleh kalangan ulama di seluruh Pulau Jawa, bahkan sampai ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Ini semua berkat kegigihan para ulama menyebarkan ide-ide keagamaan dan kemasyarakatannya, terutama melalui jaringan pesantren. Lima tahun kemudian kiprah Nahdlatul Ulama tidak hanya terbatas pada masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara tradisional, tetapi sudah mulai mengadopsi model pendidikan Barat dengan mendirikan sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, mendirikan koperasi dan menggalang ekonomi rakyat pedesaan di bidang pertanian, nelayan dan usaha kecil. Di bidang politik NU memunculkan tokoh-tokoh muda yang berpikiran modern, seperti Kyai Wahid Hasyim, Kyai Masykur, Zainul Arifin, Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri. Pada masa pasca proklamasi andil Kyai Wahab baik dalam kancah politik nasional maupun pengembangan organisasi NU sangat menonjol. Pada awal kemerdekaan, Kyai Wahab bersama kaum pergerakan lainnya seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung, kemudian berkali-kali duduk dalam kursi parlemen sampai akhir hayatnya pada 1971. Akan tetapi peran paling menonjol dari Kyai Wahab dalam hal ini adalah sebagai negosiator antara kepentingan NU dan pihak pemerintah. Tidak heran dengan fungsinya itu Kyai Wahab sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya. Dalam intern NU sendiri puncak karier Kyai Wahab adalah ketika bersama-sama tokoh muda lainnya seperti Kyai Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai politik bersaing dengan partai lainnya yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang politik Indonesia dan diterima secara bulat dalam Muktamar NU tahun 1952.

Pada waktu itu situasi hubungan antara NU dan Masyumi dan juga tokoh-tokohnya amat tegang. Meskipun Dr. Sukiman sendiri menyaksikan peristiwa keluarnya NU dari Masyumi, hal itu tidak cukup untuk mengatasi situasi tersebut. Situasi ragu dan tegang juga menghantui pengikut dan pimpinan NU yang semula duduk dan aktif dalam Masyumi. Dalam situasi seperti itu, Kyai Wahab tampil dengan sikap khasnya, yaitu tegas dan berwibawa.

Katanya, "Siapa yang masih ragu, silakan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri partai ini (NU). Saya hanya memerlukan seorang sekretaris dan Tuan-tuan silahkan lihat apa yang akan saya lakukan!"

Beberapa tahun kemudian, dalam Pemilu 1955 NU keluar sebagai salah satu partai terbesar di samping PKI, PNI dan Masyumi. Memang Kyai Wahab bukan satu-satunya tokoh yang berperan dalam membesarkan NU, akan tetapi peranan Wahab amat menonjol. Dalam hal ini yang lebih menarik untuk dilihat adalah konsistensi Kyai Wahab dalam merealisasikan gagasan sejak dia merintis munculnya tradisi keilmuan melalui kelompok diskusi, penggalangan solidaritas antara sesama kaum agama dan antara kaum agama dengan tokoh-tokoh nasionalis, Sampai penggalangan Ulama pesantren dalam mendirikan NU.

Kyai Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang baik dalam kancah pergolakan dan turun naiknya politik Islam, mulai dari pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia), Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam tersebut. Di sini Kyai Wahab terlibat dalam pergumulan dengan tokoh-tokoh terkemuka, seperti Kyai Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin dan lain-lain.


Tradisi Jurnalistik di NU

Bukan Kyai Wahab jika tidak memutar otak, selalu "gelisah" mencari cara mewujudkan cita-citanya. Bersama tokoh NU lainnya, Kyai Wahab pernah membeli sebuah percetakan beserta sebuah gedung sebagai pusat aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya. Dari sini kemudian dia merintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Ini dilandasi oleh pemikiran Wahab yang sesungguhnya amat sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di pesantren.

Mulai saat itu diterbitkan majalah tengah bulanan Suara Nahdlatul Ulama. Selama tujuh tahun majalah ini dipimpin oleh Kyai Wahab sendiri. Teknis redaksional dari majalah tersebut lalu disempurnakan oleh Kyai Mahfudz Siddiq dan menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Disamping itu terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Lalu Terompet Ansor dipimpin oleh Tamyiz Khudlory; dan majalah berbahasa Jawa Penggugah, dipimpin oleh Kyai Raden Iskandar yang kemudian digantikan oleh Saifuddin Zuhri. Dari tradisi kepenulisan ini NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat.

Tidak salah lagi, Kyai Wahab adalah pemegang andil terbesar dalam meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor; dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah organisasi NU, jurnalistik, sampai siasat bertempur di medan laga. Dalam hal yang terakhir ini ucapannya yang paling populer adalah, "Kalau kita mau keras harus punya keris." Keris dalam hal ini diibaratkan Kyai Wahab sebagai suatu kekuatan, kekuatan politik, militer dan batin. Itulah sebabnya Kyai Wahab juga gigih dan terjun sendiri bersama pasukan Hizbullah (di bawah pimpinan Kyai Haji Zainal Arifin), pasukan Sabilillah (di bawah pimpinan Kyai Haji Masykur) dan Barisan Kyai (yang dipimpin sendiri) dalam berperang melawan penjajah.

Kyai Wahab juga dikenal jago bersilat dan ber-"wirid". Konon di mana-mana Kyai Wahab menyebar ijazah, macam-macam Hizb, doa dan wirid kepada seluruh warga NU dan siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Beliau ternyata bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena "wirid"-nya.


Ulama Tiga Zaman

Demikianlah Kyai Wahab Chasbullah, ulama yang diberkati Tuhan memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman, (1) zaman pergerakan kemerdekaan; (2) sesudah proklamasi kemerdekaan; dan (3) masa Orde Baru. Kiai ini pernah merasakan pahit getirnya hidup, dan banyak teladan yang ditinggalkan bagi generasi sesudahnya. Dalam masa kepemimpinannya dia juga tidak lepas dari ejekan, fitnah dan hinaan disamping tentu saja sanjungan dan hormat. Pada zaman Orde Lama misalnya, banyak orang mengejek Kyai Wahab sebagai "Kyai Nasakom" atau "Kyai Orla" lantaran NU menerima konsep Nasakom dan dekat dengan Bung Karno. Padahal kata Kyai Saifuddin Zuhri, semua orang dan semua organisasi waktu itu menerima Nasakom termasuk ABRI. Ya, siapa yang berani menentang Bung Karno waktu itu?

Menanggapi hal ini Kyai Wahab berjiwa besar dan menanggapi dengan tertawa enteng. "Ha..ha..ha.. Ya biarkan saja," katanya.

"Ejekan itu masih belum apa-apa dibanding dengan ejekan terhadap Nabi Muhammad SAW yang dianggap gila. Saya kan masih belum dianggap gila," katanya.

Yang jelas, hampir sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kyai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali Muktamar NU.

Saat sakit dan menjelang wafatnya, Kyai Wahab masih berkeinginan bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap bisa ikut memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu dikabulkan Tuhan. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kyai kondang ini terpilih sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU. Empat hari kemudian setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil Tuhan. Dia wafat di rumahnya yang sederhana, di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang pada 29 Desember 1971.

Dalam khutbah iftitahnya yang terakhir sebagai Rois 'Am, Kyai Wahab masih sempat berharap, "Supaya NU tetap menemukan arah jalannya di dalam mensyukuri nikmat karunia Allah SWT, sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal saleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal- Jama'ah."

Diingkatkan pula agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926. Dan sekarang ini NU telah kembali ke khittah 1926. Mengikuti harapan Kyai Wahab.


Disadur dari buku:
"KARISMA ULAMA, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Editor: Saifullah Ma'shum, Penerbit: Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN
Dikutip dari : pratikno.ananto@gmail.com


Selengkapnya....

Senin, 19 Juli 2010

KH. Muhammad Saleh Darat As-Samarani, Semarang


Terjemahan Al Qur’an dalam aneka versi bahasa, bukan hal asing lagi sekarang. Tapi, tidak di era akhir tahun 1800-an. Penjajah Belanda tidak melarang orang mempelajari Al Qur’an, asal jangan diterjemahkan. KH Muhammad Saleh Darat, seorang ulama asal Semarang, menabrak larangan tak tertulis itu. Dialah pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Buku-bukunya sangat populer di zamannya, dan banyak digemari masyarakat awam. Karyanya ditulis dengan huruf Arab gundul (pegon), sehingga tidak dicurigai penjajah.

Al Qur’an pun ia terjemahkan dengan huruf itu. Kitab Faid ar-Rahman merupakan kitab tafsir pertama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Satu eksemplar buku itu dihadiahkannya kepada RA Kartini ketika pahlawan nasional ini menikahi RM Joyodiningrat, bupati Rembang.

Kartini sungguh girang menerima hadiah itu. ''Selama ini surat Al Fatihah gelap bagi saya, saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kiai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami,'' demikian Kartini berujar saat ia mengikuti pengajian Saleh Darat di pendopo Kesultanan Demak.


Anak Prajurit Diponegoro

Saleh Darat lahir di Kedung Cemlung, Mayong Jepara, tahun 1820. Ayahnya, KH Umar, adalah seorang ulama yang pernah bergabung dengan Pangeran Diponegoro dalam perlawananannya melawan penjajah Belanda.

Sebagaimana umumnya anak kiai, ia melewati masa kecilnya dengan belajar agama. Mula-mula ia belajar pada KH Syahid, ulama besar di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. Setelah itu, ia dibawa ayahnya ke Semarang untuk belajar pada beberapa orang kiai, antara lain KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus, KH Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (mufti Semarang), KH Ahmad Bafaqih Ba'lawi, dan KH Abdul Gani Bima.

Setelah menamatkan pendidikan di Semarang, Saleh diajak ayahnya ke Singapura, Beberapa tahun kemudian ia bersama ayahnya menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sang ayah wafat di Makkah. Di kota itu ia tinggal selama beberapa tahun untuk menimba ilmu. Disana beliau berguru dengan ulama -ulama besar diantarnya Syaikh Muhammad Almarqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Almisri serta Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Disana KH Saleh Darat juga bertemu dengan santri -santri yang berasal dari Indonesia antara lain KH Nawawi Al bantani dan KH Muhammad Kholil Al Maduri.

Sekembalinya menimba ilmu di Mekkah KH Saleh Darat mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtdlo, yang letaknya di pesisir pantai Semarang. Sejak itu pondok pesantren berkembang dengan pesatnya. Banyak santri-santri yang berdatangan dari berbagai daerah di pulau jawa untuk menimba ilmu darinya. Murid-muridnya yang di kemudian hari menjadi ulama terkenal, antara lain KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.; KH Mahfuzh at Tarmasi, Pondok Pesantren Termas, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; KH Idris, pendiri Ponpes Jamsaren, Solo; KH. Munawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak Jogja KH Sya'ban, ulama ahli falak. RA Kartini adalah juga seorang muridnya. Maka pantas rasanya bila KH Saleh darat disebut sebut sebagai Gurunya Para Ulama di Jawa. Saleh Darat selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Inti sari Al Quran, kata dia, adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat.


Menulis Banyak buku

Saleh darat adalah ulama yang mempunyai tradisi intelektual menuliskan buah pikirannya dalam bentuk buku. Buku-bukunya andara lain adalah Kitab Majmu'ah asy-Syariah, Al Kafiyah li al-'Awwam (Buku Kumpulan Syariat yang Pantas bagi Orang Awam), dan kitab Munjiyat (Buku tentang Penyelamat) yang merupakan saduran dari buku Ihya' 'Ulum ad-Din karya Al Ghazali.

Buku-buku lain karyanya adalah Kitab Al Hikam (Buku tentang Hikmah), Kitab Lata'if at-Taharah (Buku tentang Rahasia Bersuci), Kitab Manasik al-Hajj, Kitab Pasalatan, Tarjamah Sabil Al-'Abid 'ala Jauharah at-Tauhid, Mursyid al Wajiz, Minhaj al-Atqiya', Kitab hadis al-Mi'raj, dan Kitab Asrar as-Salah.

Sebagian besar bukunya sampai sekarang terus diterbitkan ulang oleh Penerbit Toha Putera, Semarang. Buku-buku itu khususnya digunakan di kalangan pesantren dan majelis ta’lim di Jawa Tengah.


Ahli Ilmu Kalam

Saleh Darat juga dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung paham teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-'Abid 'ala Jauharah at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat islam menjadi 73 golongan sepeninggal Belia, dan hanya satu golongan yang selamat.

Menurut Saleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulillah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah.

Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.


Beliau Wafat

KH. Saleh darat wafat pada tanggal 28 Ramadan 1321 H, atau bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun dan di makamkan dikomplek Pemakaman Umum Bergota Semarang. Setiap tanggal 10 Syawal, masyarakat dari berbagai penjuru kota melakukan haul Kiai Saleh Darat di kompleks pemakaman umum Bergota Semarang.


Dari berbagai sumber...Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com


Selengkapnya....

KH. Muhammad Syafi'i Hadzami, Jakarta


Kehadiran Islam di Jakarta dan semakin banyaknya masjid yang didirikan pada abad ke-18, terutama setelah membludaknya orang Batavia yang menuntut ilmu di Makkah membawa daya jelajah intelektual yang luar biasa pada abad-abad berikutnya.

Banyaknya ulama yang bermunculan di abad ke-20 di berbagai penjuru kota Jakarta, dengan masjid dan lembaga pengajian sebagai locus intelektual, membawa dampak pada kecenderungan masyarakat Betawi (sebagai suku asli) yang dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama (religius). Bahkan, Raffless sampai mengakui kemajuan perkembangan Islam di kalangan penduduk kota Batavia dalam bentuk asimilasi antara penduduk pribumi dengan pendatang selalu disebut Islamisasi orang selam.

Bersamaan dengan perkembangan Islam di Jakarta dan semakin banyaknya kelompok ulama, lahirlah sososk ulama Betawi yang menjadi generasi kedua dalam jaringan intelektual Islam Betawi pada abad ke -20, yakni KH. M. Syafi’I Hadzami. Ia dilahirkan pada tanggal 31 Januari 1931 M bertepatan dengan 12 Ramadlan 1349 H. Orang tuanya bernama Muhammad Saleh Raidi dan Ibu Mini. Sejak awal kecil KH. M. Syafi’I Hadzami berada dibawah bimbingan kakeknya, Husein, di Batutulis XIII, Pecenongan. Disinilah KH. M. Syafi’I Hadzami mendapatkan bimbingan intelektual pertama dengan belajar Al Qur'an hingga fasih beserta tajwidnya. Selain itu, ia juga belajar ilmu sharaf dan nahwu. Pada usia 9 tahun, KH. M. Syafi’I Hadzami sudah khatam Al Qur'an. Dibawah asuhan kakeknya yang disiplin dan tegas.

Sejak kecil, KH. M. Syafi’I Hadzami senang melihat orang-orang pintar, terutama para kyai. Ia ingin menyamai mereka. Karena itu, ketika kecil, ia senang berpakaian seperti ulama. Namun, ia tidak tahu dari mana datangnya keinginan itu. Padahal dalam tradisi keluarga, ia tidak melihat ada kecenderungan untuk menjadi kyai. Barangkali didikan kakeknya yang selalu menyuruhnya untuk mengaji dan sering mengajak ke tempat-tempat para ulama itulah yang membuat Syafi’i kecil ingin menyamai mereka (Ali Yahya, 1999). Keinginan itulah yang menjadikan Syafi’i Hadzami gigih dalam menuntut ilmu.

Penggambarannya untuk memburu ilmu-ilimu agama hanya terbatas di wilayah Jakarta. Ini berbeda dengan kebanyakan perjalanan intelektual ulama-ulama terkenal lainnya yang menuntut ilmu ke beberapa tempat. Syafi’i Hadzami tidak pernah menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah apalagi belajar di Timur Tengah. Pengajian kitab di masjid yang hingga sekarang ini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi telah menjadi tradisi intelektual yang paling berharga bagi Syafi’i Hadzami. Dapatlah dikatakan bahwa selain tempat ibadah, masjid juga berfugsi sebagai tempat mengajarkan dan menyebarkan Islam (Aziz, 1996). Tradisi mengajar agama di masjid sebenarnya bukanlah hal yang baru. Kebiasaan ini dapat ditemukan di hampir seluruh dunia Islam, khususnya di dua masjid utama di tanah suci, Makkah dan Madinah, yang menurut Van Bruinessen (1990) dianggap oleh umumnya muslim Asia Tenggara abad ke-17 sebagai pusat kosmik dan sumber ilmu.

Namun kemantapan hatinya, ketekunan, dan kekerasan usahanya, yang didukung dengan kesungguhan beribadah, ketinggian akhlaq, dan kederdasan otaknya, telah mengantarkan Syafi’i Hadzami meraih keberhasilan yang patut dibanggakan, setara dengan ketinggian ulama lainnya. Inilah kelebihan Syafi’i Hadzami dalam perjalanan intelektualnya yang berbeda dengan kebanyakan ulama lainnya dalam jaringan intelektual abad ke-16 – 21.

Dalam buku biografinya yang ditulis oleh Ali Yahya (1999) disebutkan Syafi’i Hadzami tidak membatasi diri pada ilmu tertentu. Ia menyukai berbagai bidang keilmuwan. Di masa-masa awal, setelah mempelajari al Qur’an beserta tajwidnya dengan baik, maka ilmu yang palin ditekuninya adalah tauhid. Fiqh, dan ilma alat (nahwu, sharaf, dan balaghah). Berbagai kitab matan ia hafalkan, terutama yang berbentuk nadzam. Khusus untuk ilmu-ilmu alat, ia memberikan perhatian yang khusus. Penguasaan yang mendalam tentang ilmu alat menjadi prioritas utamanya di masa-masa awal. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa pengembangan selanjutnya dalam penguasaan berbagai cabang ilmu keislaman akan sangat tergantung kepada penguasaan ilmu alat. Setelah memiliki penguasaan yang mendalam tentang ilmu-ilmu alat barulah ia menekuni ilmu-ilmu lain, seperti ilmu ushul fiqh beserta qawaidnya, mantiq, tafsir, ulumul hadis, tasawuf, falak,’arudh dan lain sebagainya.


Jaringan Intektual

Jaringan intelektual yang didapat Syafi’i Hadzami dari guru-gurunya terbatas pada jaringan ulama Betawi, yang dikenal sebagai masyarakat religius dan mengandalkan masjid sebagai pusat intelektual. Namun demikian, Syafi’i Hadzami memiliki jaringan intelektual ke atas (guru-gurunya), seperti KH. Mahmud Romli, (1866 M), KH Ahmad Marzuki (1876 M), yang berpuncak pada dua ulama Haramain ternama abad ke-17; Ahmad al-Qusyasyi dan Abdul Aziz al Zamzami.

Beberapa ulama yang dikunjungi Syafi’i Hadzami memberikan kemantapan ilmunya sekaligus memperdalam pengetahuannya dalam keilmuwan Islam. Syafi’i Hadzami sering diajak kakeknya untuk mengaji dan membaca dzikir di tempat Kyai Abdul Fatah (1884-1947 M) yang dikenal sebagai pembawa Tarekat Idrisiyah ke Indonesia setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif al-Sanusi di Makkah (Tim Penulis, 1994). Dari gurunya ini, ia mendapat doa khusus. Waktu itu, ia ikut berdzikir bersama kelompok Tarekat Idrisiyah yang dipimpin oleh Kyai Abdul Fattah. Dalam zikir itu, Syafi’i Hadzami yang masih belia pernah mengalami fana’ (lupa dan hilang kesadaran diri) kerena dibimbing agar ingat kepada Allah semata. Ia tidak ingat persis bagaimana situasiya saat itu. Maka kyai pun memberinya doa khusus. Ia dipanggil secara khusus menghadap sang kyai. Kyai Abdul Fattah mendoakan Syafi’i Hadzami agar kelak menjadi orang baik (Ali Yahya, 1999).

Syafi’i Hadzami juga berguru kepada Pa Sholihin tentang ilmu bahasa Arab, nahwu dan sharaf selama 2 tahun. Dalam mengajar, Pak Solihin tergolong keras dan disiplin, seperti kakeknya. Sebagai seorang yang telah ikut berjasa, maka untuk mengenangnya, musholla tempatnya belajar dinamakam raudlatuh al sholihin.

Setelah mengaji al Qur’an kepada guru-gurunya, Syafi’i Hadzami mengaji kepada Guru Sa’idan di Kemayoran (1948 – 1995). Pada gurunya ini, ia belajar ilmu tajwid ilmu nahwu dengan kitab pegangan mulhat al-i’rab, dan ilmu fiqh dengan kitab pegangan al Tsimar al Yani’ah yang merupakan syarah dari kitab al Riyadh al Badi’ah. Guru Saidan pula yang menyuruhnya belajar kepada kepada guru-guru yang lainnya, misalnya Guru Ya’kub, Sa’idi (Kebon Sirih), Guru Khalid (Gondangdia), dam Guru Abdul Madjid (Pekojan).

Salah satu guru utama Syafi’i Hadzami adalah Habib Ali ibn Husein al Atthas yang terkenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Kepadanya Syafi’i Hadzami belajar lebih kurang 18 tahun, yaitu sejak 1958 – 1976. Seperti murid-murid Habib Ali lainnya (KH. S. Muhammad ibn Ali al Habsyi, Habib Abdullah ibn Abdul Qodir Bil Faqih, KH. Abdullah Syafi’i, KH. Tohir Romli, KH. Abdurrazaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh), Syafi’i Hadzami juga datang dengan membaca kitab dihadapan Habib Ali yang sering disebut dengan sistem sorogan.

Syafi’i Hadzami juga rajin mengikuti pengajian umum yang diasuh oleh Habib Ali ibn Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang). Pada awalnya, ia diajak oleh kakeknya untuk menghadiri majlis yang bisa diadakan setiap hari Ahad. Bahkan, dari Habib Ali inilah ia mendapat kata pengantar berbahasa Arab dalam karyanya yang berjudul al Hajjat al Bayyinah.

Guru Syafi’i Hadzami yang lain adalah KH. Mahmud Ramli, seorang ulama besar Betawi. Selama 6 tahun (1950-1956), ia mempelajari kitab-kitab kuning, diantaranya Ihya Ulum ad Din, dan Bujayrimi. Selain Syafi’i Hadzami, murid-murid Guru Romli yang menjadi ulama terkemuka di Jakarta adalah KH. Abdullah Syafi’i, Thabrani Paseban, dan lain-lain.

Syafi’i Hadzami juga berguru kepada KH. Ya’kub Sa’di di Kebon Sirih. Selama 5 tahun (1950-1955) ia telah mengkhatamkan kitab-kitab mantiq dan ushuluddin, seperti kitab Idhah al Mubham, Darwis Quwaysini, dll. Sedangkan dalam ilmu Nahwu, ia belajar kepada KH. Muhammad Ali Hanafiyah seperti kitab; Kafrawi, Mulhat al i’rab dan Asymawi.

Beberapa guru Syafi’i Hadzami lainnya adalah KH. Mukhtar Muhammad (1953-1958), KH. Muhammad Shaleh Mushannif, KH. Zahruddin Utsman, Syaikh Yasin al Fadani, dan KH. Muhammad Thoha.

Jika dilihat dari guru-gurunya ini, tampak sekali Syafi’i Hadzami belajar kepada para ulama yang berasal dari luar Jakarta yang memiliki bobot intelektual yang luar biasa. Namun demikian, tingkat keilmuwan Syafi’i Hadzami tidak kalah dengan ulama-ulama lainnya yang hidup dalam generasi abad ke-20.


Sikap Terhadap Pembaharuan

Dalam setiap perubahan zaman, diperlukan suatu usaha baru untuk menafsirkan dan menyelaraskan agama dengan tuntutan zaman. Karena itu, pembaharuan diyakini sebagai cara untuk menyesuaikan agama agar tidak ketinggalan zaman. Inilah yang diyakini KH. M. Syafi’i Hadzami, bahwa pembaharuan sangat diperlukan oleh agama. Ini berarti ia tidak kaku dalam menyikapi perubahan dan perkembangan yang terjadi. Ia tidak menjadikan pandangan hidupnya menjadi suatu sistem yang tertutup dan kemudian memalingkan diri dari proses modernisasi.

Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. M. Syafi’i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsungmenolak atau menyetujuinya tanpa menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syari’at. Jadi, pembaharuan dalam memahami agama bukan sesuatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan- persyaratan untuk itu. Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi SAW bahwa setiap seratus tahun ada yang disebut mujaddid (pembaharuan). Dalam kehidupan beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang memperbaharui pandangan-pandangan agama. Jadi, yang di perbaharui bukan agamanya, tetapi pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang dirubah, melainkan alat untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seoarang mujaddid.


Karya-karyanya

KH. M. Syafi’i Hadzami dikenal sebagai ulama produktif menuliskan pemikirannya dalam bentuk buku. Pada umumnya, karya-karyanya ditulis dalam bentuk risalah-risalah kecil dengan bahasa Indonesia bertuliskan arab. Karya-karyanya hampir semuanya ditulis pada era 80-an sebagai puncak intelektual sang kyai. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, produktifitas menulisnya sudah mulai berkurang.

Karya terkenal KH. M. Syafi’i Hadzami adalah buku yang berjudul Tawdhih al Adillah, yang disusun acara tanya jawab yang diasuhnya di Radio Cenderawasih. Hingga kini, sudah terbit dalam 7 (tujuh) jilid dan telah berkali-kali dicetak ulang, yang peredarannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri jiran Malaysia.

Karya-karya lainnya adalah;
  1. Sullamu al Arsy fi Qira’at Warsy
    Risalah setebal 40 halaman ini berisi kaidah-kaidah khusus dalam pembacaan al Qur’an menurut Syekh Warasy.
  2. Qiyas adalah Hujjah Syar’iyyah
    Dalam risalah ini, dikemukakan dalil-dalil dari al Qur’an, Hadis, dan Ijma’ ulama yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan salah satu argumentasi syari’ah.
  3. Qobliyyah Jum’at
    Dalam risalah ini membahas kesunatan shalat sebelum shalat jum’at dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
  4. Shalat Tarawih
    Di dalamnya dikemukakan dan dijelaskan dalil-dalil dari hadis dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan shalat tarawih.
  5. Ujalah Fidyah Shalat
    Risalah ini membahas perbedaan pendapat tentang pembayaran fidyah (mengeluarkan bahab makanan pokok) untuk seorang muslim yang telah meninggal dunia yang dimasa hidupnya pernah meninggalkan beberapa waktu shalat fardhu.
  6. Mathmah al Rubi fi Ma’rifah al Riba
    Dalam risalah ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan riba, seperti hukum riba, bank simpan pinjam, deposito, dan sebagainya.

Dari berbagai sumber...Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com


Selengkapnya....

KH. Mukhtar Syafa'at, Banyuwangi - Jawa Timur


Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafa'at, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Jajag, Banyuwangi.

Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.

Perjuangan beliau dimulai dari musholla milik kakaknya. Mula-mula beliau mengajarkan Al Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya musholla tersebut tidak dapat lagi menampung para santri yang ingin belajar kepadanya.

Melihat kondisi yang demikian, Kyai Syafa’at merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah ke luar daerah Blokagung. Namun oleh Kyai Sholehan dilarang dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Badul Hadi.

Setelah menikah, beliau pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini juga sudah ada mushollanya dengan ukuran 7 x 7 meter. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah santri yang belajar bertambah banyak sehingga musholla ini juga tidak cukup untuk menampung santri. Kemudian muncullah ide untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan sholat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk keperluan pendirian masjid. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Januari 1951. Dalam perkembangan selanjutnya tanggal inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Dalam mendirikan pondok pesantren ini beliau dibantu oleh temanya Kyai Muhyidin dan Kyai Mualim.

Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafa'at Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).

Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.

Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf.

Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.

Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syeikh Imam Al-Ghozali.

Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.

Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.

Pengembaraan Kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya, ”KH Syafa’at (Alm.) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”

Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI. Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.

Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.

Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.

Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.

Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.

KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qana'ah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.

Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.

Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i (menjaga kehormatan).

Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya, ”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.

Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Musytasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.


Beliau Wafat

KH Syafa'at pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.


Dari berbagai sumber...dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com


Selengkapnya....