Cari di Blog ini

Translate

Gunakan Ctrl+F untuk mencari kata dalam halaman ini

Rabu, 14 Juli 2010

KH. Abdullah Sajjad, Sumenep – Madura

(Gambar diatas merupakan modifikasi dari lukisan gambar Kiai Abdullah Sajjad)

Kiai Abdullah Sajjad adalah putra Kiai Syarqawi dari Nyai Qamariyah. Dilahirkan di Guluk-Guluk Sumenep Madura. Tanggal dan tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, nama besarnya tidak bisa dilupakan siapa pun.

Beliau adalah pahlawan kemerdekaan yang hidup di pinggiran kota yang bagi sebagaian orang kurang begitu tertarik untuk mengungkapnya. Memang beliau bukanlah sosok yang haus anjungan dan bangga dengan publikasi. Tanpa publikasi sekalipun, semerbak kemasyhurannya dikenal banyak orang. Itu semua karena kebesaran dan peran sosial politiknya yang tidak sederhana. Ia adalah tokoh fenomenal: pendidik, pejuang, dan penulis sekaligus.

Layaknya pemuda yang lahir dari rahim pondok pesantren, Abdullah Sajjad kecil oleh orang tuanya dikirim untuk mnimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Beliau pernah belajar di pesantren yang paling populer pada masanya, Pesantren Kadenmangan asuhan Syaikhona Khalil. Selain itu, beliau juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tebuireng jombang dan Pesantren Panji Sidoarjo.

Setelah beberapa tahun ngelmu di satu pesantren dan beralih ke pesantren yang lain, Abdullah Sajjad kembali ke habitat awalnya, Guluk-Guluk, untuk melanjutkan perjuang orang tuannya, yaitu mengembangkan pesantren. Dan sejak saat itu, beliau diberi kesempatan untuk merintis sendiri sebuah “pesantren” di pesantren Annuqayah. Inilah awal pemekaran dan pembiakan pesantren Annuqayah menjadi wilayah-wilayah dengan kebijaksanaan otonom.

Di wilayah barunya yang dikenal dengan Latee inilah Kiai Haji Abdullah Sajjad mengawali perannya sebagai pengajar yang ulet dan tangguh. Keuletan beliau terlihat dari aktifitasnya yang membarikan hampior seluruh waktunya untuk mengisi pengajian kitab setiap usai salat berjamaah, kecuali setelah salat Maghrib dan salat Subuh yang digunakan untuk pengajian Al-Quran. Tidak cukup dengan semata-mata mengajar para santrinya, Kiai Haji Abdullah Sajjad merasa bertanggung jawab dalam perbaikan moralitas masyarakat sekitarnya. Wujud tanggung jawab ini direalisasikan dengan merintis pengajian umum untuk masyarakat sekitar pesantren yang dilaksanakan setiap malam Ahad.

Dalam perkembangannya, minat peserta pengajian tidak saja terbatas pada pada masyarakat yang berdekatan dengan pesantren, tetapi juga meluas hingga ke berbagai daerah di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Beliaulah yang dikenal sebagai perintis pertama pengajian umum di Pesantren Annuqayah. Beliau juga dikenal dekat dengan dan begitu memperhatikan masyarakat bawah. Ini misalnya, sebagaimana dikisahkan Kiai Abdul Basith, salah satu putranya dari Nyai Aminah Az-Zahra’, setiap mendengar ada tetangga sakit, Kiai Abdullah Sajjad biasanya mengajak sebagian santrinya untuk menjenguk dan sekaligus membacakan Qasidah Burdah untuk si sakit. Jiwa sosial yang demikian mendalam mengaliri kepribadiannya.

Kalau Kiai Abdullah Sajjad lebih bergerak di luar, tidak halnya dengan Kiai ilyas. Kiai Ilyas lebih bergerak dalam membenahi internal pesantren. Ekspansinya yang demikian luas ke luar ini menyebabkan Kiai Abdullah Sajjad begitu mudah mendapat pengakuan masyarakat dan sebagai konsekuensinya beliau pernah terpilih menjadi kepala desa Guluk-Guluk. Penerimaannya untuk menjadi kepala desa didasarkan pada keinginan beliau untuk menanamkan Islam kepada warga masyakatnya melalui institusi desa. Dengan demikian, lengkaplah peran dakwah Kiai Abdullah Sajjad. Di samping ditopang pola pendekatan kultural melalui pengajian-pengajian umum yang telah dirintisnya, beliau juga memanfaatkan pola pendekatan struktural melalui lembaga desa.


Figur yang Kokoh Pendirian

Kiai Abdullah Sajjad merupakan tokoh yang tegas dan berkarakter. Tokoh yang satu ini tangguh dalam membela prinsip yang dipegangi dan lebih bersifat reaktif, atau bahkan cendrung antipati terhadap pelecehan yang dilakukan kalangan “modernis”. Sebagaimana diketahui, pertentangan antara kelompok “modernis” yang kerap diasosiakan dengan dengan Muhammadiyah dan kelompok “tradisionalis” yang diasosiasikan dengan Nahdlatul Ulama demikian meruncing, tidak terkecuali pada masa Kiai Abdullah Sajjad. Kiai Abdullah Sajjad dengan karakternya yang tegas dalam memebela prinsipnya pun terleibat dalam “pertarungan” gagasan ini. Ini misalnya, sebagaimana diuturakan Kiai Abdul Basith, dalam lembaran catatannya Kiai Abdullah Sajjad pernah menulis pembelaan terhadap penggunaan kata ushalli setiap kali memulai salat: satu hal yang didebat oleh kalangan Muhammadiyah. Model pembelaan ini juga menunjukkan konsistensi sikapnya dan ketegasan prinsipnya dalam membela keyakinan yang dianjurkan para ulama salafus shalih.


Bukti lain yang menunjukkan konsistensi dalam mempertahankan prinsip adalah anjurannya untuk selalu berhati-hati dan benar-benar mencermati ketika membaca “kitab-kitab tertentu”. Sebagaimana diutarakan Kiai Abdul Basith, Kiai Abdullah Sajjad pernah menulis catatan di lembaran kitab Fushusul Hikam karya Muhyiddin Ibn ‘Arabi yang menjelaskan anjuran untuk berhati-hati dalam membacanya sehingga tidak melahirkan kesimpulan yang “menyesatkan”. Tentu saja anjuran ini merupakan bagian dari pembelaannya terhadap prinsip yang diyakininya. Tentu saja, pembelaan tersebut diterapkan secara serampangan, tetapi melalui penelusuran dan pengamatan kritis.


Pejuang Kemerdekaan

Dibacakannya teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan wujud kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan. Namun sayang, meluapnya ambisi imprealistik menyebabkan Belanda kembali menjajah paska kemerdekaan 1945. Penjajah terus meluaskan wilayah ekspansinya hingga ke wailayah Madura. Ketika Belanda untuk kedua kalinya memasuki Madur pada tahun 1947, kepemimpinan Laskar Sabilillah di Sumenep yang semula dipegang Kiai Mohammad Ilyas diserahkan kepada Kiai Abdullah Sajjad yang pada saat itu beliau baru menjabat klebon (kepala desa) Guluk-Guluk. Melalui institusi itulah Kia Abdullah Sajjad menghimbau dan mengajak para warganya untuk terlibat dalam jalur politik : politik membela agama, bangsa, dan negara. Dihimpunlah masyarakat dalam wadah yang disebut dengan Laskar Sabilillah: suatu wadah yang difungsikan untuk menggalang dan menghimpun kekuatan dalam menentang penjajah yang kembali menguasai Sumenep. Ajakan ini mendapat respons yang positif dari warga masyarakat. Apresiasi masyarakat terhadap seruan kiai tentu saja ditopang oleh pola kehidupan masyarakat yang telah terbentuk dengan kokoh dan pada saat yang sama kedudukan kultural kiai pada saat itu telah mapan. Di pihak yang lain penindasan penjajah kian meningkat dan disinilah mulai terbentuk solidaritas bersama untuk menghadapi penjajah sebagai common enemy.

Dibantu keponakannya, Kiai Khazin yang bertindak sebagai pimpinan pasukan, Kiai Abdullah Sajjad lebih berposisi sebagai pengatur taktik dan strategi pertempuran. Begitu Belanda terus berusaha masuk ke arah Sumenep, tentara Sabilillah dengan gencarnya melakukan perlawanan. Mengingat peralatan perang Belanda tidak sesederhanan yang dibayangkan, upaya pertahanan terus dilakukan. Hingga suatu ketika pertahanan tidak lagi mampu membent\dung arus pasukan belanda, Kiai Khazin selaku pimpinan lapangan mengirim utusan ke Annuqayah, markas tentara sabilillah, agar pesantren Annuqayah dikosongkan. Sementara Kiai Mohammad Ilyas mengungsi di dusun Berca, daerah pedalaman Guluk-Guluk, Kiai Abdullah Sajjad mengungsi ke Karduluk, daerah sebelah timur Prenduan, dengan ditemani bebrapa santrinya.

Setelah empat bulan di pengungsian, datanglah sepucuk surat yang ditujukan kepada Kiai Abdullah Sajjad yang berisi pernyatan bahwa Guluk-Guluk aman terkendali dan Kiai Abdullah Sajjad dimohon untuk kembali ke Pesantren Annuqayah. Sebelum surat itu disampaikan kepada Kiai Abdullah Sajjad, pihak pimpinan pesantren Annuqayah yaitu Kiai Mohammad Ilyas dan Kiai Idris melakukan musyawarah dan akhirnya keduany apun menyetujui. Kiai Abdullah Sajjad pun kembali ke Pesantrren Annuqayah. Mendengar kedatangan Kiai Abdullah Sajjad, sontak saja masyarakat berkunjung ke pesantren untuk menemuinya. Sementara Kiai Abdullah Sajjad sedang ayik-asyiknya menemani para tamu di Mushallah sehabis beliau melaksanakan salat Maghrib, tiba-tiba sembilan serdadu Belanda datang dan menagkap beliau. Kiai Abdullah Sajjad pun dibawa ke lapangan Guluk-Guluk, dan disanalah beliau mengakhiri usianya akibat kekejaman dan kelicikan tentara penjajah. Beliau dibunuh di ujung kerakusan senapan penjajah. Peristiwa berkabung ini terjadi pada tahun 1947.

Meskipun Kiai Abdullah Sajjad telah wafat, namun semangat yang beliau hunjamkan di sanubari para pengikutnya terus bergelayut dan semangat untuk berjuang terus bergelora. Beberapa bulan kemudian, Kiai Khazin yang menjadi pimpinan pasukan Sabilillah yang sekaligus keponankan Kiai Abdullah Sajjad menyusul kepergian pamannya lantaran sakit setelah kembali dari pengungsian . Beliau mengungsi ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo, Asembagus Sitobondo. Pesantren ini oleh Belanda dinyatakan sebagai Heillige Zone (zonal suci) yang merupakan daerah terlarang terlarang bagi tentara Belanda. Artinya, tentara Belanda dilarang keras untuk memasuki kawasan tersebut walau untuk menangkap tokoh dan pejuang kemerdekaan sekalipun, sehingga pondok pesantren dijadikan sebagai penyembunyian dan sarang pelarian gerilyawan pasukan Indonesia.


Karya Peninggalannya

Di sela-sela kesibukannya mengurus para santri serta keterlibatannya dalam pengajaran masyarakat, ditambah lagi dengan keterlibatannya dalam medan juang melawan penjajah, Kiai Abdullah Sajjad masih bisa menyisihkan waktunya untuk merenung dan menulis karya. Satu-satunya karya yang menjadi saksi ketekunan beliau adalah Mandzumatur Risalah yang berisi sembilan puluh delapan bait nadlam yang isinya mengurai tentang cara berakidah yang tepat. Kitab ini disuguhkan dengan model tanya jawab dan disusun ddengan format nadlam. Ada bebrapa poin yang diperbincangkan kitab tersebut, yaitu tentang makna iman, hakikat iman, cara beriman kepada Allah, cara beriman kepada para malaikat, cara beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allahm cara beriman kepada para Nabi, jumlah kitab yang diturunkan, jumlah para Nabi dan Rasul, cara beriman pada hari akhir, cara beriman pada qadar, dan sebagainya. Sebagaimana disebutkan secara jelas dalam salah satu baitnya, kitab ini ditulis pada tahun 1360. Dan pada pada tahun 1418, Abu Muhammad Zaqien al-Maduri, nama samaran Kiai Abdul Basith, salah satu putra Kiai Abdullah Sajjad, memberikan komentar (syarh) singkat dengan judul kitab Idlahul Afadil Syarh Mandzumatul Masa’il.

Meskipun beliau hanya meninggalkan sebuah karya, namun semangatnya untuk meninggalkan karya semacam ini di sela-sela kesibukannya sebagai pendidik dan pejuang sekaligus merupakan fenomena yang langka. Dalam situasi sosial yang penuh pergoalakan ini, beliau hadir mempersembahkan sebuah karya yang tidak kecil maknanya bagi umat.

Demikaianlah sepotong sejarah pengabdian seorang figur fenomenal yang mencurahkan hidupnya demi kepentingan agama, bangsa, dan negaranya. Tulisan ini tidak mungkin mampu melukiskan “warna utuh” perjalanan sejarahnya. Begitu kaya nuansa yang dilakoninya sehingga mustahil dituangkan dalam tulisan yang teramat singkat ini. Tapi yang jelas, Kiai Abdullah Sajjad adalah figur fenomenal.[]

Dari berbagai sumber...dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com




Lainnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar