Dalam konteks pertumbuhan intelektualisme pesantren di daratan Melayu sekitar abad ke-17, peranan Syekh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili dapat dibilang sangat menonjol. Pasalnya, dari kejeliannya mendidik para santri berhasil melahirkan ulama-ulama terkemuka, baik di Pulau Sumatera maupun pulau lain di Nusantara. Sebutlah, misalnya, Syekh Burhan Al-Din Abulung, ulama Minangkabau, Syekh ‘Abd Allah Al-Muhyi, ulama Jawa, dsb.
Syekh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili juga dikenal, karena kepionerannya bisa berdiri di antara dua kubu yang bergulat secara intens dalam kontrovesi seputar paham wujudiyyah. Sebagaimana diketahui masyarakat banyak, Syekh ‘Abd Al-Ra’uf hidup pada saat dunia pesantren pada khususnya dan Islam Melayu umumnya sedang dilanda kontroversi dan pertikaian seputar masalah wujudiyyah, antara kubu Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani, sebagai pelopor, dan kubu Nur Al-Din Al-Raniri, sebagai penentang.
Memang kontroversi dan pertikaian antara kubu Hamzah Fansuri dan kubu Al-Raniri, sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, terjadi ketika Al-Sinkili belum terlibat dalam ranah intelektualisme Islam. Tepatnya sebelum ia berangkat ke Arabia sekitar 1052 H/1642 M. Bahkan tidak ada indikasi sama sekali yang menunjukkan bahwa Al-Sinkili memiliki hubungan pribadi dengan Al-Raniri yang menjadi mufti di Aceh pada masa antara 1047 H/1637 M hingga 1054 H/1644-1645 M (Azyumardi Azra, 1994). Namun demikian, dia paham tentang ajaran Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din serta fatwa “sesat” dan pembunuhan yang dijatuhkan Al-Raniri atas pengikut mereka.
Sebagai tokoh yang hidup di tengah kontroversi isu keislaman, Al-Sinkili tergolong sosok fenomenal. Bagaimana tidak demikian? Ia pernah berguru kepada Syams Al-Din Al-Sumaterani, tapi semangat tulisan-tulisan Al-Sinkili menunjukkan bahwa dia berbeda dari Hamzah maupun Syams Al-Din. Menariknya lagi, walau ia tidak pernah berguru dengan Al-Raniri, tapi pemikirannya ada banyak kemiripan dengan pemikiran “musuh” gurunya itu. Mungkin karena faktor inilah, dalam tulisan-tulisannya tidak ditemukan data yang secara gamblang menentang ajaran-ajaran Hamzah dan Al-Sumaterani. Al-Sinkili bahkan mengecam sikap radikal Al-Raniri. Dengan bijaksana ia mengingatkan kaum muslimin Nusantara akan bahayanya menuduh sesama muslim sebagai orang sesat atau kafir.
Momentum pembaharuan intelektualisme Islam Al-Sinkili dilakukan setelah ia pulang ke Aceh sekitar 1584 H/1661 M dari pengembaraannya di Arabia selama 19 tahun. Di mana ketika itu, aura pembaharuan di tanah Melayu-Nusantara yang dirintis Al-Raniri tengah mengalami kemunduran politis sejak ia digeser oleh Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din Al-Sumatrani dan meninggalkan Aceh menuju ke kota kelahirannya, Ranir, pada 1054 H/1644-1645 M. Dalam konteks ini, determinasi pembaruan Al-Sinkili ditekankan pada upaya rekonsiliasi, memadukan secara simfoni implementasi antara syariah dan tasawuf.
Kelahiran dan Pendidikan Al-Sinkili
‘Abd Al-Ra’uf b. ‘Ali Al-Fansuri Al-Sinkili, sebagaimana diasumsikan Rinkes, dilahirkan pada sekitar tahun 1024 H/1615 M. Menurut Peunoh Daly, ayah Al-Sinkili, Syeikh ‘Ali Al-Fansuri merupakan pendatang Arab yang berhasil mengawini seorang wanita pribumi asal Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan penting di Sumatera Barat dan penghasil utama kapur barus. Di daerah ini pula keluarga ‘Abd Al-Ra’uf berdomisili. Sementara itu, ada versi lain dari Hasymi yang menyebutkan, bahwa nenek moyang Al-Sinkili berasal dari Persia yang mengadakan perjalanan dagang ke Samudera Pasai sekitar abad ke-13, dan kemudian menetap di Fansur.
Kemungkinan bahwa ayah Al-Sinkili bukan orang Melayu memang amat besar. Sebab sebagaimana diketahui khalayak, Samudera Pasai dan Fansur dulunya seringkali dikunjungi para pedagang Arab, Persia, India, dan Yahudi, setidak-tidaknya sejak abad ke-9. Walaupun, tidak ada informasi pasti yang mendukung tentang riwayat ayah Al-Sinkili tersebut.
‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili mendapatkan pendidikan awalnya di desa kelahirannya, Singkel, terutama dari ayahnya, yang dikenal sebagai seorang alim yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan di Fansur. Fansur sendiri pada masa itu terkenal sebagai pusat pengkajian Islam serta titik penghubung antara Islam Melayu dengan Islam di Asia Barat dan Asia Selatan.
Dari Fansur, Al-Sinkili kemudian mengadakan perjalanan ke Banda Aceh, ibukota Kesultanan Aceh, untuk belajar antara lain kepada Syams al-Din al-Samaterani (w. 1040 H/1630 M) pada usia belasan tahun. Adapun anggapan yang menyebut Al-Sinkili pernah belajar kepada Hamzah Fansuri, agaknya perlu dibuktikan lebih jauh lagi, karena Al-Sinkili tidak pernah bertemu dengan Hamzah. Ini bisa dilihat dari tahun kematian Hamzah (w. 1016 H/1607 M) dan tahun kelahiran Al-Sinkili (1024 H/1615 M).
Pada tahun 1052 H/1642 M, Al-Sinkili berangkat ke Arabia untuk menuntut ilmu pengetahuan. Setidaknya ada dua alasan Al-Sinkili berangkat ke Arabia:
Pertama, tanah Haramain sejak abad ke-12 M merupakan pusat kebangkitan keilmuan Sunni melalui madrasah-madarsah yang berdiri di sana. Menurut Taqi Al-Din Al Fasi Al-Makki Al-Maliki, madrasah yang pertama ada di Mekkah adalah madrasah Al-‘Ursufiyah yang didirikan pada 571 H/1175 M oleh ‘Afifi ‘Abd Allah Muhammad Al-‘Ursufi (w. 595 H/1196 M), yang terletak sebelah selatan Masjid al-Haram. Setelah itu, sampai abad ke-17 M terdapat setidaknya 19 madrasah di Mekkah.
Meski perkembangan madrasah cukup fenomenal, tetapi karena lemahnya pengawasan dan pembiayaan pendidikan yang hanya mengandalkan wakaf, maka kehidupan madrasah sering terlantar, bahkan gulung tikar. Oleh karena itu, walaupun banyak madrasah, kebanyakan ulama Haramain lebih senang mengafiliasikan diri dengan Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi yang jauh lebih sejahtera secara finansial. Pada abad ke-16 dan ke-17, di samping lembaga pendidikan madrasah dan kajian keislaman di Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi, berdiri pula zawiyah, khanqah atau ribath dalam jumlah besar. Di Mekkah saja ada sekitar 50 ribath, sedangkan di Madinah tercatat tidak kurang dari 30 ribath.
Kedua, Arabia, khususnya Haramain ketika itu merupakan pusat intelektualisme Islam. Mekkah dan Madinah membuka diskursus intelektual kosmopolitan atas berbagai kasus yang muncul dari berbagai belahan Dunia Islam. Di sinilah figur para ulama dan intelektual dari berbagai aliran dan paham keagamaan bertemu membentuk suatu jaringan. Di antara mereka ada nama Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Jam’an (w. 1083 H/1672 M), Ishaq b. Muhammad b. Jam’an (1014-1096 H/1605-1685 M), ‘Abd Al-Rahim b. Al-Shiddiq Al-Khash, ‘Abd Allah b. Muhammad Al-Adani, Sayyid Al-Thahir b. Al-Husayn Al-Ahdal, Muhammad ‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji (w. 1074 H/1664 M), ‘Abd Al-Qadir Al-Barkhali, ‘Ali b. ‘Abd Al-Qadir Al-Thabari, Ahmad Qusyasyi (991 H/1583 M-1071 H/1661 M), Ibrahim Al-Kurani (1023 H/1614 M-1102 H/1690 M), dan lain-lainnya.
Dari nama-nama ulama di atas yang berasal dari beragai wilayah di Arabia dan dari berbagai disiplin keilmuan, Al-Sinkili banyak berguru ilmu pengetahuan. Dan ini menunjukkan bahwa ia telah berusaha secara langsung masuk ke dalam jaringan intelektual di Timur Tengah. Kemudian dalam posisi sebagai pengembara ilmu pengetahuan dari pinggiran Dunia Islam, setelah merasa sudah menguasai ilmu secara memadai dan memperoleh otoritas untuk mengajar (ijazah) dari gurunya, maka Al-Sinkili kembali ke negerinya, Aceh Darussalam untuk menjadi transmitter utama tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Haramain, dengan membawa ilmu, gagasan, dan metode yang dipelajari di sana.
Alasan di atas amat paralel kiranya, manakala dirujuk kepada karyanya, ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, di mana Al-Sinkili secara rinci menulis daftar nama gurunya selama di Arabia, dan 27 ulama lainnya, yang dengan mereka dia mempunyai kontak dan hubungan pribadi.
Selama masa 19 tahun di Arabia, Al-Sinkili belajar di sejumlah tempat yang tersebar sepanjang rute haji: dari mulai Doha di Qatar, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekkah dan Madinah. Jadi, dia memulai studinya di Doha, Qatar, di mana dia belajar dengan ‘Abd Al-Qadir Al-Mawrir, walaupun hanya sebentar.
Dari Doha, Al-Sinkili melanjutkan studinya di Yaman, terutama di Bait Al-Faqih dan Zabid, meskipun dia juga mempunyai beberapa guru di Mawza’, Mukha, Al-Luhayyah, Hudaidah, dan Ta’izz. Bait Al-Faqih dan Zabid merupakan pusat-pusat pengetahuan Islam yang paling penting di wilayah ini. Di Bait Al-Faqih, dia belajar dengan para ulama dari keluarga Ja’man, sebuah keluarga sufi-ulama terkemuka di Yaman yang menjadi pilar masyarakat Yaman pada masa itu.
Atas saran keluarga inilah, khususnya ‘Abd Allah b. Jam’an dan Ishaq b. Jam’an, Al-Sinkili bisa berkhidmat dan belajar pada dua guru terkemukanya, Al-Qusyasyi dan Al-Kurani di Madinah. Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Ja’man (w. 1083 H/1572 M), dikenal sebagai seorang muhaddits (ahli hadits) dan ahli fiqh. Darinya, Al-Sinkili mempelajari ilmu al-zahir (ilmu pengetahaun eksoteris), seperti fiqh, hadits, dan disiplin-disiplin keilmuan lain yang terkait. Di samping itu, Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Jam’an adalah seorang pemberi fatwa yang produktif. Maka wajar bila Al-Sinkili melewatkan sebagian besar waktunya bersama tokoh satu ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin.
Selain ‘Abd Allah, guru utama Al-Sinkili dari keluarga Jam’an lainnya adalah Ishaq b. Muhammad b. Ja’man (w. 1014-1096 H/1605-1685 M), seorang ulama di Bait al-Faqih yang terkenal sebagai seorang faqih dan muhaddits terkemuka di wilayah itu.
Di Zabid, Yaman, Al-Sinkili belajar kepada ‘Abd Al-Rahim b. Al-Shiddiq Al-Qusyasyi, dan ‘Abd Allah b. Muhammad Al-‘Adani, yang disebut Al-Sinkili sebagai pembaca (‘qari) Al-Qur’an terbaik di wilayah itu. Dia juga menjalin hubungan dengan para ulama terkemuka Zabid lainnya, seperti ‘Abd Al-Fattah Al-Khash, mufti Zabid; Sayyid Al-Thahir b. Al-Husain Al-Ahdal; dan Muhammad ‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji, seorang syekh Naqsyabandiyyah yang termashur (w. 1074 H/1664 M).
Berikutnya di Jeddah, ia belajar dengan mufti Jeddah, ‘Abd Al-Qadir Al-Barkhali, kemudian terus ke Mekkah. Di sana ia belajar pada beberapa guru pula, di antaranya kepada ‘Ali b. Abd Al-Qadir Al-Thabari, seorang faqih terkemuka di kota suci itu atas saran keluarga Jam’an di Yaman.
Tahap terakhir dari perjalanan panjang Al-Sinkili dalam menuntut ilmu adalah Madinah. Di kota Nabi inilah, ia merasa puas karena dapat menyelesaikan pelajarannya. Dia belajar di Madinah dengan Ahmad Al-Qusyasyi sampai meninggalnya pada 1071 H/1660 M, dan khalifahnya, Ibrahim Al-Kurani.
Dengan Al-Qusyasyi, selama beberapa tahun, Al-Sinkili mempelajari ilmu batin (ilmu pengetahuan esoteris), yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjukannya sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Sedangkan dengan Ibrahim Al-Kurani, Al-Sinkili, di samping mewarisi intelektualitas keislaman Al-Kurani juga mewarisi kepribadiannya sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Dengan kata lain, bagi Al-Sinkili, Al-Qusyasyi adalah guru spiritual dan mistisnya, sementara Al-Kurani lebih menjadi guru intelektualnya.
Kepribadian Al-Kurani yang diteladani oleh Al-Sinkili menunjukkan bahwa hubungan pribadi Al-Sinkili dengan Al-Kurani sangat erat. Bahkan salah satu karya besar Al-Kurani, Ithaf al-Dzaki, ditulis atas permintaan “Ashhab al-Jawiyyin” yang menurut A. H. John kemungkinan besar adalah Al-Sinkili. Asumsi ini menurut Azra (1994) bisa diterima kebenarannya ketika mempertimbangkan kenyataan bahwa Al-Sinkili, setelah kembali ke Aceh, sering meminta pendapat Al-Kurani mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi keberagamaan di Aceh, mulai dari cara Al-Raniri melancarkan pembaruannya di Aceh sampai mempertanyakan masalah zikir kematian, seperti tertulis dalam penutup bukunya yang berjudul Lubb al-Kasyr wa al-Bayan lima Yarah al-Muhtadhar.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, meski Al-Sinkili belajar kepada 19 orang guru di berbagai wilayah di Arabia, ia juga menjalin hubungan keilmuan dengan tidak kurang dari 27 ulama terkemuka lainnya. Ia memang tidak menjelaskan sifat hubungannya dengan mereka, tetapi tidak diragukan lagi bahwa dia mendapatkan keuntungan besar dari mereka. Dapat dipastikan bahwa mereka, sedikitnya turut memberi inspirasi dan mendorong terbentuknya cakrawala sosio-intelektualnya yang jauh lebih luas.
Di antara mereka ada nama-nama seperti ‘Isa Al-Maghribi, ‘Abd Al-‘Aziz Al-Zamzami, Taj Al-Din b. Ya’qub, ‘Ala Al-Din Al-Babili, Zain Al-‘Abidin Al-Thabari, ‘Ali Jamal Al-Makki dan ‘Abd Allah b. Sa’id Ba Qasyir Al-Makki (1003-1076 H/1595-1665 M) yang hidup di Mekkah. Juga ada ulama-ulama terkemuka Madinah seperti Mulla Muhammad Syarif Al-Kurani, Ibn ‘Abd Al-Rasul Al-Barzanji dan Ibrahim b. ‘Abd Al-Rahman Al-Khiyari Al-Madani --murid ‘Ala Al-Din Al-Babili, Ibrahim Al-Kurani, dan ‘Isa Al-Maghribi, dan ‘Ali Al-Bashi Al-Maliki Al-Madani (w.1160 H/1694 M), seorang muhaddits terkenal di sana.
Itulah perjalanan intelektual Al-Sinkili. Datang dari wilayah pinggiran dari dunia Islam, dia memasuki inti jaringan ulama dan dapat merebut hati sejumlah ulama utama di Arabia. Disiplin keilmuannya sangat kompleks: dari syariat, fiqh, hadits, hingga kalam dan tasawuf atau ilmu-ilmu esoteris. Fakta bahwa sebagian besar guru-gurunya dan kenalan-kenalannya tercatat dalam kamus-kamus biografi Arab menunjukkan keunggulan yang tak tertandingi dari lingkungan intelektualnya. Karier dan karya-karyanya setelah ia kembali ke Nusantara merupakan sejarah dari usaha-usahanya yang dilakukan secara sadar untuk menanamkan kuat-kuat keselarasan antara syariat dan tasawuf.
Karier Al-Sinkili dan Kondisi Sosio-Politik Aceh
Karier intelektual Al-Sinkili agaknya telah dimulai sejak ia masih di Haramain. Ini disebabkan, karena menjelang datang ke Arabia ia telah memiliki pengetahuan yang memadai untuk disampaikan kepada sesama kaum Muslim Melayu-Indonesia. Selama di sana, Al-Sinkili juga menginisiasi para pelajar dari Jawa (Nusantara) ke tarekat Syathariyyah. Tetapi ada juga silsilah-silsilah tarekat Syathariyyah di Jawa (Nusantara) yang mengacu langsung kepada Ahmad Al-Qusyasyi, dan bukannya melalui Al-Sinkili. Snouck Hugronje dalam buku The Achehnese mengisyaratkan, Al-Qusyasyi menunjuk khalifah-khalifah tarekat Syathariyah Melayu-Nusantaranya semasa mereka menjalankan ibadah haji.
Karier intektual Al-Sinkili kemudian diilanjutkan setelah ia pulang ke tanah airnya, Aceh Darusssalam pada tahun 1584 H/1661 M. Tepatnya, setelah kematian Al-Qussyasyi dan setelah Al-Kurani mengeluarkan untuknya sebuah ijazah untuk menyebarkan pengajaran dan ilmu yang telah dia terima darinya. Ketika itu, Aceh dipimpin oleh Sultanah Shafiyat Al-Din, yang menjadi pelindung Al-Raniri selama dua setengah tahun, sebelum berpaling kepada Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din Al-Sumaterani.
Kedatangan Al-Sinkili dengan berbagai informasi tentang keluasan ilmu pengetahuan dan lingkungan intelektualnya yang sampai lebih dahulu ke Aceh menciptakan rasa penasaran penduduk Aceh, terutama di kalangan istana. Tidak lama kemudian Al-Sinkili dikunjungi seorang pejabat istana, Sri Raja b. Hamzah Al-Asyi, Sekretaris Rahasia Sultanah, yang mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas tentang masalah keagamaan. Al-Asyi diutus Sultanah Shafiyat Al-Din untuk menyelidiki pandangan-pandangan keagamaan Al-Sinkili. Jelaslah, Al-Sinkili berhasil lulus dari “ujian” itu, sebab dia segera merebut hati kalangan istana. Kemungkinan besar, ia ditunjuk Sultanah Shafiyat Al-Din menggantikan Sayf Al-Rijal untuk menduduki jabatan sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti, yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.
Perlu diinformasikan juga, kondisi Aceh di awal kembalinya Al-Sinkili dari Arabia sedang dalam kekacauan agama dan kemunduran politik. Kekacauan agama ditandai dengan peristiwa besar, berupa pertentangan antara mistiko-filosofis wahdatul wujud yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani dan ajaran Asy’ariyyah yang dikembangkan Al-Raniri yang berakhir dengan fatwa “sesat” dan “pembunuhan” terhadap pengikut keduanya. Sementara itu, kemunduran politik di Aceh ditandai dengan banyaknya wilayah di bawah kekuasaan Sultanah Shafiyat Al-Din di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan diri dari pemerintah pusat.
Kekacauan politik ini –walaupun tidak sampai menimbulkan perebutan kekuasaan- juga berlanjut kepada masalah kepemimpinan perempuan dalam hukum Islam, yang tidak tepecahkan di kalangan orang-orang Aceh, karena para ulama di sana juga tidak bisa menjawabnya. Bahkan Al-Sinkili pun, tampaknya ia tidak berhasil menjawabnya secara gamblang. Dalam karya fiqhnya, Mir’at Al-Thullab, dia tidak membahas masalah itu secara langsung. Ketika membicarakan tentang syarat-syarat untuk menjadi hakim (secara lebih luas, penguasa), Al-Sinkili tampaknya secara sengaja tidak memberikan terjemahan Melayu untuk kata dzakr (laki-laki).
Pertanyaan ini terus mengemuka, karena pada periode paruh abad ke-17 hingga akhir abad ke-17, kesultanan Aceh diperintah oleh empat orang Sultanah berturut-turut. Sultanah pertama adalah Shafiyat al-Din, yang menggantikan suaminya, Iskandar Tsani pada 1051 H/1641 M dan memerintah dalam tempo relatif lama hingga 1086 H/1675 M. Sultanah berikutnya, Nur Al-‘Alam Naqiyat Al-Din, setelah memerintah selama tiga tahun (1086-1088 H/1675-1678 M) digantikan Zakiyat Al-Din (1088-1098 H/1678-1688 H). Sedangkan Sultanah terakhir adalah Kamalat Al-Din (1098-1109 H/1688-1699 M).
Oleh karena itu, ketika Sultanah Zakiyat Al-Din menerima suatu delegasi dari Syarif Mekkah pada 1096 H/1683 M: -yang sejatinya akan menemui Sultan Moghul, Aurangzeb, tetapi ia menolak menerimanya. Dan delegasi itu pun putar haluan datang ke Aceh dengan membawa surat-surat dan hadiah-hadiah untuk Sultanah: Maka ia sangat gembira dan meminta mereka tinggal sebentar di ibukota, sekaligus ia mempersiapkan hadiah-hadiah untuk Syarif Mekkah. Dilaporkan, pada saat itu, Sultanah atas nama masyarakat Aceh mengirim hadiah-hadiah dan shadaqah yang terdiri atas, antara lain, sebuah patung terbuat dari emas yang diambil dari reruntuhan istana dan Masjid Baiturrahman yang terbakar pada masa pemerintahan Sultanah Naqiyat Al-Din.
Kedatangan delegasi Syarif Mekkah ke Aceh dianggap prestise oleh Sultanah Zakiyat Al-Din, dan rakyat Aceh pun memanfaatkan kedatangan mereka itu dengan menanyakan seputar kepemimpinan perempuan dalam hukum Islam. Namun demikian, delegasi Mekkah tidak mau langsung memberikan jawaban pertanyaan itu, tetapi membawa persoalan tersebut ke sidang para ulama Haramain. Jawaban masalah kepemimpinan perempuan itupun akhirnya baru datang dari Mekkah ke istana Aceh selang lima dekade semenjak Kesultanan Aceh di bawah tampuk kepemimpinan sultanah. Yakni, tepatnya, ketika masa kepemimpinan Zakiyat Al-Din telah berakhir dan digantikan Sultanah Kamalat Al-Din (1098-1109 H/1688-1699 M). Mufti kepala di Mekkah dikabarkan mengirimkan sebuah fatwa yang menyatakan, bahwa kepemimpinan perembuan bertentangan dengan hukum Islam. Akibatnya, Kamalat Al-Din diturunkan dari tahta, dan ‘Umar b. Qadi Al-Malik Al-‘Adil Ibrahim diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Badr Al-Alam Syarif Hasyim Ba Al-‘Alawi Al-Husaini, sekaligus menjadi titik tolak berdirinya Dinasti Arab, Jamal Al-Lail, di Aceh.
Dalam kapasitasnya sebagai Qadli Malik al-‘Adil (mufti kerajaan yang bertanggung jawab terhadap urusan keagamaan), Al-Sinkili diduga terlibat langsung dengan kejadian tersebut, walaupun tidak ditemukan peran pastinya dalam menerima tamu dari Mekkah tersebut. Juga dipastikan, bahwa ia mengetahui tentang kepemimpinan perempuan menurut Islam. Tetapi sikapnya yang tidak keras dalam memberi fatwa dan menerima kepemimpinan perempuan adalah indikasi lebih jauh dari toleransi pribadinya, suatu ciri yang amat mencolok pada diri Al-Sinkili. Walaupun secara tidak langsung, ia telah dituduh mengkompromikan integritas intelektualnya karena persoalan tersebut.
Dengan demikian, meski menghadapi berbagai kesulitan politik, dan pandangan yang beragam dalam masalah keagamaan, apalagi dengan kedatangan delegasi dari Syarif Mekkah, realitas tersebut menunjukkan kesultanan Aceh masih merupakan entitas politik Muslim yang tetap harus diperhitungkan.
Karya, Pemikiran dan Pembaruan Al-Sinkili
Mengenai karya, pemikiran dan pembaruan Al-Sinkili, tulisan ini akan menggunakan gaya penulisan integratif, bukan parsial. Karena, dari data-data (karya-karya intelektual) Al-Sinkili dari berbagai disiplin kelimuan, yang jumlahnya tidak kurang dari 22 buah buku, dapat dijadikan cerminan pemikiran dan pembaruannya.
Selama masa karier intelektual maupun politiknya yang panjang di Kesultanan Aceh, terjadi patronase antara Al-Sinkili dan para Sultanah yang berkuasa. Ini bisa dilihat dari karya fiqhnya, Mir’at al-Thullab fi Taysir al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab, yang ditulis atas permintaan Sultanah Shafiyat al-Din, dan diselesaikan pada 1074 H/1663 M. Juga, karyanya berupa penjelasan (syarh) atas kitab hadits ‘Arbain Nawawiyah yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyat Al-Din. Selain itu, masih ada 20 lagi karyanya yang membahas tentang berbagai disiplin ilmu: fiqh, tafsir, kalam, dan tasawuf.
Yang menarik, tulisan-tulisan Al-Sinkili kebanyakan diformulasikan berdasarkan konteks sosio-historis masyarakt Melayu, di samping juga mempertimbangkan tingkat kemampuan murid-muridnya yang kebanyakan masih awam dalam seluk beluk keagamaan. Meskipun, ia lebih suka menulis dalam bahasa Arab. Karena ia menyadari bahasa Melayunya tidak begitu bagus, setelah kepergiannya yang cukup lama ke Arabia. Untuk keperluan penulisan dalam bahasa Melayu Sumatera, yang dalam istilah Al-Sinkili disebut Lisan al-Jawiyyat al-Samatra’iyyah, ia dibantu oleh beberapa guru bahasa Melayu yang berdomisili di Aceh.
Menurut Azyumardi Azra, dalam seluruh tulisannya, Al-Sinkili, seperti gurunya Al-Kurani, tampak menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri, antara ilmu lahiriah dan ilmu batiniyah. Karena itu, ajaran-ajaran yang diusahakannya untuk disebarkan di wilayah Melayu-Nusantara adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam neo-sufisme.
Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syari’iyyah li Al-Malik Al-Wahhab adalah karya pertama ulama Melayu-Nusantara di bidang fiqh mu’amalah, yang membahas secara komprehensif tentang masalah politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum Muslimin. Sebagai perbandingan, karya ini berbeda dengan Shirath al-Mustaqim karya Al-Raniri yang hanya membahas tentang aspek ibadah saja. Karena mencangkup topik-topik yang begitu luas, ia jelas merupakan suatu karya terpenting di bidang tersebut.
Sumber utama karya ini adalah Fath al-Wahhab karya Zakariyya Al-Anshari. Tetapi Al-Sinkili juga mengambil bahan dari buku-buku standar seperti Fath al-Jawab dan Tuhfat al-Muhtaj, keduanya karya Ibn Hajar Al-Haytsami (w. 973 H/1565 M); Nihayat al-Muhtaj karya Syams Al-Din Al-Ramli; Tafsir al-Baydhawi karya Ibn ‘Umar Al-Baydhawi (w. 685 H/1286 M); dan Syarh Shahih Muslim karya Al-Nawawi (w.676 H/1277 M).
Melalui Mir’at al-Thullab, Al-Sinkili tampak ingin menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu, bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari, seperti pernikahan (munakahat), jinayat, dan pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mencuat di tengah masyarakat.
Secara lebih umum, pemikiran fiqh mu’amalah Al-Sinkili di bidang politik dan peradilan agama, tampak dari keterlibatannya secara aktif dalam pemerintahan Kesultanan Aceh selama ia menjabat sebagai Qadli al-Malik al-‘Adil atau mufti yang bertanggung jawab untuk menata urusan keagamaan. Dalam konteks ini, Hooker pernah mengemukakan, bahwa Mir’at al-Thullab merupakan rujukan utama kitab Lumaran, sebuah kumpulan hukum Islam yang digunakan kaum Muslim Mindanau, Filipina, sejak pertengahan abad ke-19. Karya lain Al-Sinkili dalam bidang fiqh adalah kitab Al-Fara’idh yang membahas tentang pembagian harta waris yang digunakan oleh kaum Muslim Melayu-Nusantara hingga waktu belakangan ini.
Dalam bidang tafsir, Al-Sinkili merupakan ulama pertama di dunia Islam Melayu yang mempersiapkan tafsir Al-Qur'an secara lengkap dalam bahasa Melayu dengan karyanya, Tarjuman al-Mustafid, yang diselesaikan selama karier panjangnya di Kesultanan Aceh. Telaah baru-baru ini menemukan bahwa sebelum dia, hanya ada sepenggal tafsir atas QS. Al-Kahfi (18). Karya itu diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Syams Al-Din Al-Samaterani, mengikuti tradisi Tafsir al-Khazin. Tetapi gaya terjemahan dan penafsirannya berbeda dengan Hamzah atau Syams Al-Din, yang lazim menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengutip penggalan ayat dalam karya-karya mereka secara mistis.
Sebagai tafsir paling awal di Melayu-Nusantara, tidak mengherankan kalau karya Al-Sinkili bukan saja beredar luas di wilayah ini, tapi bahkan sampai dibaca di kalangan komunitas Melayu di Afrika Selatan –mereka kemungkinan adalah pengikut Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra juga memberikan kesimpulan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid ini mencerminkan ketinggian nilai dan intelektual Al-Sinkili. Pasalnya, edisi cetaknya terbit di berbagai belahan dunia Islam, seperti: Singapura, Penang, Jakarta, Bombai, Istambul, Kairo, dan Mekkah dalam kurun waktu panjang, dari akhir abad ke-17 sampai akhir abad ke-20.
Corak penulisan Tarjuman al-Mustafid ini mengikuti alur Tafsir al-Jalalan, karya monumental Jalal Al-Din Al-Mahalli dan Jalal Al-Din Al-Suyuthi. Hanya pada bagian-bagaian tertentu saja Al-Sinkili memanfaatkan Tafsir al-Baydhawi dan Tafsir al-Khazin. Corak demikian dimaksudkan Al-Sinkili sebagai teks pendahuluan yang bagus untuk orang-orang yang baru mempelajari tasir Al-Qur'an di kalangan Muslim Melayu-Nusantara, agar mereka mudah memahami makna Al-Qur'an sehingga bisa mempraktekkan isinya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk keperluan karyanya ini, ia menerjemahkan Tafsir al-Jalalain ke dalam bahasa Melayu secara sederhana agar mudah dipahami orang Melayu pada umumnya. Karenanya, ia menerjemahkan Tafsir al-Jalalayn kata perkata dengan tidak memberikan tambahan dalam bentuk penjelasan atau komentar apapun dari dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, dia menghapuskan penjelasan-penjelasan tata bahasa Arab dan penafsiran-penafsiran panjang, yang dinilainya justru menyulitkan pembaca.
Nilai signifikansi karya tafsir Al-Sinkili ini adalah merupakan suatu petunjuk dalam sejarah keilmuan tafsir Al-Qur'an di Melayu, dimana ia meletakkan dasar-dasar bagi sebuah jembatan antara tarjamah (tarjemahan) dan tafsir, dan karenanya mendorong telaah lebih lanjut atas karya-karya tafsir dalam bahasa Arab. Selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafid merupakan satu-satunya terjemahan lengkap Al-Qur'an di Melayu. Baru, dalam tiga puluh tahun terakhir muncul tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu-Nusantara. Dengan demikian, boleh dikatakan, karya Al-Sinkili ini memainkan peranan penting dalam memajukan pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam.
Dalam bidang hadits, Al-Sinkili menulis dua karya. Pertama, Syarkh kitab Arba’in al-Nawawi, (Empat Puluh Hadits Kumpulan Al-Nawawi), yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyat Al-Din. Kitab ini merupakan sebuah koleksi kecil hadits-hadits yang mengupas masalah kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim secara umum. Kedua, Al-Mawa’izh al-Badi’ah, sebuah koleksi hadits qudsi. Dalam kumpulan hadits qudsi ini, Al-Sinkili mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan penciptaan neraka dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum Muslimin untuk mendapatkan rida Allah SWT. Al-Sinkili secara khusus juga menekankan perlunya bagi setiap Muslim menemukan keselarasan antara pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal). Pasalnya, pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi Muslim lebih baik, karena itu dia juga harus melakukan perbuatan-perbuatan baik pula.
Dari keempat karya di bidang ilmu zahir-nya di atas, Al-Sinkili berusaha memberikan pemahaman secara sederhana kepada kepada kaum awam untuk menjalankan ajaran agamanya secara praktis dan mengikuti tuntunan syariat. Bahkan bukan hanya itu, Al-Sinkili juga menulis sejumlah karya untuk kalangan elit (al-khawwash) mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu batiniyah seperti kalam dan tasawuf. Dia menulis beberapa karya yang membahas topik-topik ini. Dalam Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdat al-Wujud, Al-Sinkili mempertahankan transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya.
Al-Sinkili berpendapat, sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dari nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-a’yan al-tsabithah), yaitu potensi alam raya, yang menjadi pola-pola dasar luar (al-a’yan al-kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Kemudian Al-Sinkili menyimpulkan, meski berbeda dari Tuhan, hubungan keduanya adalah seperti tangan dan bayangannya. Meski tangan hampir tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, Al-Sinkili menegaskan transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya.
Dalam risalah pendeknya yang berjudul Daqa’iq al-Hurf, Al-Sinkili juga mengemukakan argumen yang sama. Karya ini merupakan penafsiran atas apa yang dinamakan “empat baris ungkapan panteistis” dari Ibn ‘Arabi. Meski Al-Sinkili juga memanfaatkan sistem emanasi neo-Platonis, yang juga erat kaitannya dengan panteisme Syams Al-Din -yang dengan demikian menurut Martin Van Bruinessen digolonglan sebagai pendukung wahdat al-wujud- ia secara hati-hati dan sadar menjaga jarak dirinya dari penafsiran yang menyimpang.
Kehati-hatian dan kesadaran penafsiran Al-Sinkili yang demikian disebabkan pengaruh kuat intelektualisme dan kepribadian Al-Kurani dalam dirinya, yang menekankan pentingnya intuisi (kasyf) dalam jalan mistis, serta mengakui keterbatasan akal di dalam memahami hakikat Tuhan. Dalam membahas ke-Esaan Tuhan, misalnya, Al-Sinkili berpegang erat-erat pada konsep-konsep Al-Kurani, mengenai tawhid al-ulihiyyah (Keesaan Tuhan), tawhid al-af’al (Kesatuan Tindak Tuhan), tawhid al-shifat (Keesaan Sifat-sifat), tawhid al-wujud (Keesaan Esensi) serta tawhid al-haqiqi (Keesaan Realitas Mutlak).
Al-Sinkili menyatakan, cara paling efektif untuk merasakan dan menangkap Keesaan Tuhan adalah dengan menjalankan ibadat, terutama dzikr (mengingat Tuhan) baik secara diam (sirr) maupun dengan bersuara (jahr). Menurutnya, satu-satunya tujuan zikir secara lebih spesifik adalah mencapai al-mawt al-ikhtiyari (kematian “suka-rela”), atau apa yang dinamakan Al-Kurani, al-mawt al-ma’nawi (kematian “ideasional”) yang merupakan kebalikan dari al-mawt al-thabi’i (kematian alamiah).
Dalam kitab Al-Simth Al-Majid, Al-Sinkili mengikuti metode zikir Al-Qusyasyi melalui jalan tarekat Syathariyyah –walaupun ia juga pengamal beberapa tarekat lainnya seperti Naqsyabanddiyyah dan Qadiriyyah. Ia juga mengikuti ajaran-ajaran Al-Qusyasyi mengenai kewajiban murid terhadap guru mereka. Hal ini tampak dari dua risalahnya, masing-masing: Risalah Adab Murid akan Syaikh dan Risalah Mukhtasharah fi Bayan Syurut al-Syaikh wa al-Murid.
Dari pemikiran kalam, sufistik dan fiqhnya, dapat diketahui, bahwa Al-Sinkili secara sadar turut menyebarkan dan memperkuat doktrin dan kecenderungan intelektual dan praksis tradisi Islam di Melayu-Nusantara, dengan ciri paling menonjolnya yakni neo-sufisme. Ia berusaha memperbaharui pandangan bahwa tasawuf bisa berjalan seiring dengan syariat. Menurutnya, hanya dengan kepatuhan mutlak pada syariat para penganut jalan mistis dapat memperoleh pengalaman haqiqah (realitas) sejati.
Sebagai seorang mujaddid bergaya revolusioner, bukan radikal sebagaimana Al-Raniri, Al-Sinkili lebih menyukai jalan rekonsiliasi mendamaikan pandangan-pandangan yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Oleh karena itu ia merevisi fatwa radikal Al-Raniri yang menganggap sesat, kafir dan menghukum bunuh para penganut doktrin wahdat al-wujud yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan Al-Sumaterani, meskipun ia tidak setuju terhadap aspek tertentu doktrin wahdat al-wujud tersebut. Karena menurutnya, adalah berbahaya menuduh orang lain kafir dengan mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW yang menyatakan: “Janganlah menuduh orang lain menjalankan kehidupan penuh dosa atau kafir, sebab tuduhan itu akan berbalik jika ternyata tidak benar.”
Dari berbagai sumber...Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com
Memang kontroversi dan pertikaian antara kubu Hamzah Fansuri dan kubu Al-Raniri, sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra, terjadi ketika Al-Sinkili belum terlibat dalam ranah intelektualisme Islam. Tepatnya sebelum ia berangkat ke Arabia sekitar 1052 H/1642 M. Bahkan tidak ada indikasi sama sekali yang menunjukkan bahwa Al-Sinkili memiliki hubungan pribadi dengan Al-Raniri yang menjadi mufti di Aceh pada masa antara 1047 H/1637 M hingga 1054 H/1644-1645 M (Azyumardi Azra, 1994). Namun demikian, dia paham tentang ajaran Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din serta fatwa “sesat” dan pembunuhan yang dijatuhkan Al-Raniri atas pengikut mereka.
Sebagai tokoh yang hidup di tengah kontroversi isu keislaman, Al-Sinkili tergolong sosok fenomenal. Bagaimana tidak demikian? Ia pernah berguru kepada Syams Al-Din Al-Sumaterani, tapi semangat tulisan-tulisan Al-Sinkili menunjukkan bahwa dia berbeda dari Hamzah maupun Syams Al-Din. Menariknya lagi, walau ia tidak pernah berguru dengan Al-Raniri, tapi pemikirannya ada banyak kemiripan dengan pemikiran “musuh” gurunya itu. Mungkin karena faktor inilah, dalam tulisan-tulisannya tidak ditemukan data yang secara gamblang menentang ajaran-ajaran Hamzah dan Al-Sumaterani. Al-Sinkili bahkan mengecam sikap radikal Al-Raniri. Dengan bijaksana ia mengingatkan kaum muslimin Nusantara akan bahayanya menuduh sesama muslim sebagai orang sesat atau kafir.
Momentum pembaharuan intelektualisme Islam Al-Sinkili dilakukan setelah ia pulang ke Aceh sekitar 1584 H/1661 M dari pengembaraannya di Arabia selama 19 tahun. Di mana ketika itu, aura pembaharuan di tanah Melayu-Nusantara yang dirintis Al-Raniri tengah mengalami kemunduran politis sejak ia digeser oleh Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din Al-Sumatrani dan meninggalkan Aceh menuju ke kota kelahirannya, Ranir, pada 1054 H/1644-1645 M. Dalam konteks ini, determinasi pembaruan Al-Sinkili ditekankan pada upaya rekonsiliasi, memadukan secara simfoni implementasi antara syariah dan tasawuf.
Kelahiran dan Pendidikan Al-Sinkili
‘Abd Al-Ra’uf b. ‘Ali Al-Fansuri Al-Sinkili, sebagaimana diasumsikan Rinkes, dilahirkan pada sekitar tahun 1024 H/1615 M. Menurut Peunoh Daly, ayah Al-Sinkili, Syeikh ‘Ali Al-Fansuri merupakan pendatang Arab yang berhasil mengawini seorang wanita pribumi asal Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan penting di Sumatera Barat dan penghasil utama kapur barus. Di daerah ini pula keluarga ‘Abd Al-Ra’uf berdomisili. Sementara itu, ada versi lain dari Hasymi yang menyebutkan, bahwa nenek moyang Al-Sinkili berasal dari Persia yang mengadakan perjalanan dagang ke Samudera Pasai sekitar abad ke-13, dan kemudian menetap di Fansur.
Kemungkinan bahwa ayah Al-Sinkili bukan orang Melayu memang amat besar. Sebab sebagaimana diketahui khalayak, Samudera Pasai dan Fansur dulunya seringkali dikunjungi para pedagang Arab, Persia, India, dan Yahudi, setidak-tidaknya sejak abad ke-9. Walaupun, tidak ada informasi pasti yang mendukung tentang riwayat ayah Al-Sinkili tersebut.
‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili mendapatkan pendidikan awalnya di desa kelahirannya, Singkel, terutama dari ayahnya, yang dikenal sebagai seorang alim yang mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan di Fansur. Fansur sendiri pada masa itu terkenal sebagai pusat pengkajian Islam serta titik penghubung antara Islam Melayu dengan Islam di Asia Barat dan Asia Selatan.
Dari Fansur, Al-Sinkili kemudian mengadakan perjalanan ke Banda Aceh, ibukota Kesultanan Aceh, untuk belajar antara lain kepada Syams al-Din al-Samaterani (w. 1040 H/1630 M) pada usia belasan tahun. Adapun anggapan yang menyebut Al-Sinkili pernah belajar kepada Hamzah Fansuri, agaknya perlu dibuktikan lebih jauh lagi, karena Al-Sinkili tidak pernah bertemu dengan Hamzah. Ini bisa dilihat dari tahun kematian Hamzah (w. 1016 H/1607 M) dan tahun kelahiran Al-Sinkili (1024 H/1615 M).
Pada tahun 1052 H/1642 M, Al-Sinkili berangkat ke Arabia untuk menuntut ilmu pengetahuan. Setidaknya ada dua alasan Al-Sinkili berangkat ke Arabia:
Pertama, tanah Haramain sejak abad ke-12 M merupakan pusat kebangkitan keilmuan Sunni melalui madrasah-madarsah yang berdiri di sana. Menurut Taqi Al-Din Al Fasi Al-Makki Al-Maliki, madrasah yang pertama ada di Mekkah adalah madrasah Al-‘Ursufiyah yang didirikan pada 571 H/1175 M oleh ‘Afifi ‘Abd Allah Muhammad Al-‘Ursufi (w. 595 H/1196 M), yang terletak sebelah selatan Masjid al-Haram. Setelah itu, sampai abad ke-17 M terdapat setidaknya 19 madrasah di Mekkah.
Meski perkembangan madrasah cukup fenomenal, tetapi karena lemahnya pengawasan dan pembiayaan pendidikan yang hanya mengandalkan wakaf, maka kehidupan madrasah sering terlantar, bahkan gulung tikar. Oleh karena itu, walaupun banyak madrasah, kebanyakan ulama Haramain lebih senang mengafiliasikan diri dengan Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi yang jauh lebih sejahtera secara finansial. Pada abad ke-16 dan ke-17, di samping lembaga pendidikan madrasah dan kajian keislaman di Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi, berdiri pula zawiyah, khanqah atau ribath dalam jumlah besar. Di Mekkah saja ada sekitar 50 ribath, sedangkan di Madinah tercatat tidak kurang dari 30 ribath.
Kedua, Arabia, khususnya Haramain ketika itu merupakan pusat intelektualisme Islam. Mekkah dan Madinah membuka diskursus intelektual kosmopolitan atas berbagai kasus yang muncul dari berbagai belahan Dunia Islam. Di sinilah figur para ulama dan intelektual dari berbagai aliran dan paham keagamaan bertemu membentuk suatu jaringan. Di antara mereka ada nama Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Jam’an (w. 1083 H/1672 M), Ishaq b. Muhammad b. Jam’an (1014-1096 H/1605-1685 M), ‘Abd Al-Rahim b. Al-Shiddiq Al-Khash, ‘Abd Allah b. Muhammad Al-Adani, Sayyid Al-Thahir b. Al-Husayn Al-Ahdal, Muhammad ‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji (w. 1074 H/1664 M), ‘Abd Al-Qadir Al-Barkhali, ‘Ali b. ‘Abd Al-Qadir Al-Thabari, Ahmad Qusyasyi (991 H/1583 M-1071 H/1661 M), Ibrahim Al-Kurani (1023 H/1614 M-1102 H/1690 M), dan lain-lainnya.
Dari nama-nama ulama di atas yang berasal dari beragai wilayah di Arabia dan dari berbagai disiplin keilmuan, Al-Sinkili banyak berguru ilmu pengetahuan. Dan ini menunjukkan bahwa ia telah berusaha secara langsung masuk ke dalam jaringan intelektual di Timur Tengah. Kemudian dalam posisi sebagai pengembara ilmu pengetahuan dari pinggiran Dunia Islam, setelah merasa sudah menguasai ilmu secara memadai dan memperoleh otoritas untuk mengajar (ijazah) dari gurunya, maka Al-Sinkili kembali ke negerinya, Aceh Darussalam untuk menjadi transmitter utama tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Haramain, dengan membawa ilmu, gagasan, dan metode yang dipelajari di sana.
Alasan di atas amat paralel kiranya, manakala dirujuk kepada karyanya, ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, di mana Al-Sinkili secara rinci menulis daftar nama gurunya selama di Arabia, dan 27 ulama lainnya, yang dengan mereka dia mempunyai kontak dan hubungan pribadi.
Selama masa 19 tahun di Arabia, Al-Sinkili belajar di sejumlah tempat yang tersebar sepanjang rute haji: dari mulai Doha di Qatar, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekkah dan Madinah. Jadi, dia memulai studinya di Doha, Qatar, di mana dia belajar dengan ‘Abd Al-Qadir Al-Mawrir, walaupun hanya sebentar.
Dari Doha, Al-Sinkili melanjutkan studinya di Yaman, terutama di Bait Al-Faqih dan Zabid, meskipun dia juga mempunyai beberapa guru di Mawza’, Mukha, Al-Luhayyah, Hudaidah, dan Ta’izz. Bait Al-Faqih dan Zabid merupakan pusat-pusat pengetahuan Islam yang paling penting di wilayah ini. Di Bait Al-Faqih, dia belajar dengan para ulama dari keluarga Ja’man, sebuah keluarga sufi-ulama terkemuka di Yaman yang menjadi pilar masyarakat Yaman pada masa itu.
Atas saran keluarga inilah, khususnya ‘Abd Allah b. Jam’an dan Ishaq b. Jam’an, Al-Sinkili bisa berkhidmat dan belajar pada dua guru terkemukanya, Al-Qusyasyi dan Al-Kurani di Madinah. Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Ja’man (w. 1083 H/1572 M), dikenal sebagai seorang muhaddits (ahli hadits) dan ahli fiqh. Darinya, Al-Sinkili mempelajari ilmu al-zahir (ilmu pengetahaun eksoteris), seperti fiqh, hadits, dan disiplin-disiplin keilmuan lain yang terkait. Di samping itu, Ibrahim b. ‘Abd Allah b. Jam’an adalah seorang pemberi fatwa yang produktif. Maka wajar bila Al-Sinkili melewatkan sebagian besar waktunya bersama tokoh satu ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin.
Selain ‘Abd Allah, guru utama Al-Sinkili dari keluarga Jam’an lainnya adalah Ishaq b. Muhammad b. Ja’man (w. 1014-1096 H/1605-1685 M), seorang ulama di Bait al-Faqih yang terkenal sebagai seorang faqih dan muhaddits terkemuka di wilayah itu.
Di Zabid, Yaman, Al-Sinkili belajar kepada ‘Abd Al-Rahim b. Al-Shiddiq Al-Qusyasyi, dan ‘Abd Allah b. Muhammad Al-‘Adani, yang disebut Al-Sinkili sebagai pembaca (‘qari) Al-Qur’an terbaik di wilayah itu. Dia juga menjalin hubungan dengan para ulama terkemuka Zabid lainnya, seperti ‘Abd Al-Fattah Al-Khash, mufti Zabid; Sayyid Al-Thahir b. Al-Husain Al-Ahdal; dan Muhammad ‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji, seorang syekh Naqsyabandiyyah yang termashur (w. 1074 H/1664 M).
Berikutnya di Jeddah, ia belajar dengan mufti Jeddah, ‘Abd Al-Qadir Al-Barkhali, kemudian terus ke Mekkah. Di sana ia belajar pada beberapa guru pula, di antaranya kepada ‘Ali b. Abd Al-Qadir Al-Thabari, seorang faqih terkemuka di kota suci itu atas saran keluarga Jam’an di Yaman.
Tahap terakhir dari perjalanan panjang Al-Sinkili dalam menuntut ilmu adalah Madinah. Di kota Nabi inilah, ia merasa puas karena dapat menyelesaikan pelajarannya. Dia belajar di Madinah dengan Ahmad Al-Qusyasyi sampai meninggalnya pada 1071 H/1660 M, dan khalifahnya, Ibrahim Al-Kurani.
Dengan Al-Qusyasyi, selama beberapa tahun, Al-Sinkili mempelajari ilmu batin (ilmu pengetahuan esoteris), yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjukannya sebagai khalifah Syathariyyah dan Qadiriyyah. Sedangkan dengan Ibrahim Al-Kurani, Al-Sinkili, di samping mewarisi intelektualitas keislaman Al-Kurani juga mewarisi kepribadiannya sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Dengan kata lain, bagi Al-Sinkili, Al-Qusyasyi adalah guru spiritual dan mistisnya, sementara Al-Kurani lebih menjadi guru intelektualnya.
Kepribadian Al-Kurani yang diteladani oleh Al-Sinkili menunjukkan bahwa hubungan pribadi Al-Sinkili dengan Al-Kurani sangat erat. Bahkan salah satu karya besar Al-Kurani, Ithaf al-Dzaki, ditulis atas permintaan “Ashhab al-Jawiyyin” yang menurut A. H. John kemungkinan besar adalah Al-Sinkili. Asumsi ini menurut Azra (1994) bisa diterima kebenarannya ketika mempertimbangkan kenyataan bahwa Al-Sinkili, setelah kembali ke Aceh, sering meminta pendapat Al-Kurani mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi keberagamaan di Aceh, mulai dari cara Al-Raniri melancarkan pembaruannya di Aceh sampai mempertanyakan masalah zikir kematian, seperti tertulis dalam penutup bukunya yang berjudul Lubb al-Kasyr wa al-Bayan lima Yarah al-Muhtadhar.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, meski Al-Sinkili belajar kepada 19 orang guru di berbagai wilayah di Arabia, ia juga menjalin hubungan keilmuan dengan tidak kurang dari 27 ulama terkemuka lainnya. Ia memang tidak menjelaskan sifat hubungannya dengan mereka, tetapi tidak diragukan lagi bahwa dia mendapatkan keuntungan besar dari mereka. Dapat dipastikan bahwa mereka, sedikitnya turut memberi inspirasi dan mendorong terbentuknya cakrawala sosio-intelektualnya yang jauh lebih luas.
Di antara mereka ada nama-nama seperti ‘Isa Al-Maghribi, ‘Abd Al-‘Aziz Al-Zamzami, Taj Al-Din b. Ya’qub, ‘Ala Al-Din Al-Babili, Zain Al-‘Abidin Al-Thabari, ‘Ali Jamal Al-Makki dan ‘Abd Allah b. Sa’id Ba Qasyir Al-Makki (1003-1076 H/1595-1665 M) yang hidup di Mekkah. Juga ada ulama-ulama terkemuka Madinah seperti Mulla Muhammad Syarif Al-Kurani, Ibn ‘Abd Al-Rasul Al-Barzanji dan Ibrahim b. ‘Abd Al-Rahman Al-Khiyari Al-Madani --murid ‘Ala Al-Din Al-Babili, Ibrahim Al-Kurani, dan ‘Isa Al-Maghribi, dan ‘Ali Al-Bashi Al-Maliki Al-Madani (w.1160 H/1694 M), seorang muhaddits terkenal di sana.
Itulah perjalanan intelektual Al-Sinkili. Datang dari wilayah pinggiran dari dunia Islam, dia memasuki inti jaringan ulama dan dapat merebut hati sejumlah ulama utama di Arabia. Disiplin keilmuannya sangat kompleks: dari syariat, fiqh, hadits, hingga kalam dan tasawuf atau ilmu-ilmu esoteris. Fakta bahwa sebagian besar guru-gurunya dan kenalan-kenalannya tercatat dalam kamus-kamus biografi Arab menunjukkan keunggulan yang tak tertandingi dari lingkungan intelektualnya. Karier dan karya-karyanya setelah ia kembali ke Nusantara merupakan sejarah dari usaha-usahanya yang dilakukan secara sadar untuk menanamkan kuat-kuat keselarasan antara syariat dan tasawuf.
Karier Al-Sinkili dan Kondisi Sosio-Politik Aceh
Karier intelektual Al-Sinkili agaknya telah dimulai sejak ia masih di Haramain. Ini disebabkan, karena menjelang datang ke Arabia ia telah memiliki pengetahuan yang memadai untuk disampaikan kepada sesama kaum Muslim Melayu-Indonesia. Selama di sana, Al-Sinkili juga menginisiasi para pelajar dari Jawa (Nusantara) ke tarekat Syathariyyah. Tetapi ada juga silsilah-silsilah tarekat Syathariyyah di Jawa (Nusantara) yang mengacu langsung kepada Ahmad Al-Qusyasyi, dan bukannya melalui Al-Sinkili. Snouck Hugronje dalam buku The Achehnese mengisyaratkan, Al-Qusyasyi menunjuk khalifah-khalifah tarekat Syathariyah Melayu-Nusantaranya semasa mereka menjalankan ibadah haji.
Karier intektual Al-Sinkili kemudian diilanjutkan setelah ia pulang ke tanah airnya, Aceh Darusssalam pada tahun 1584 H/1661 M. Tepatnya, setelah kematian Al-Qussyasyi dan setelah Al-Kurani mengeluarkan untuknya sebuah ijazah untuk menyebarkan pengajaran dan ilmu yang telah dia terima darinya. Ketika itu, Aceh dipimpin oleh Sultanah Shafiyat Al-Din, yang menjadi pelindung Al-Raniri selama dua setengah tahun, sebelum berpaling kepada Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din Al-Sumaterani.
Kedatangan Al-Sinkili dengan berbagai informasi tentang keluasan ilmu pengetahuan dan lingkungan intelektualnya yang sampai lebih dahulu ke Aceh menciptakan rasa penasaran penduduk Aceh, terutama di kalangan istana. Tidak lama kemudian Al-Sinkili dikunjungi seorang pejabat istana, Sri Raja b. Hamzah Al-Asyi, Sekretaris Rahasia Sultanah, yang mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak jelas tentang masalah keagamaan. Al-Asyi diutus Sultanah Shafiyat Al-Din untuk menyelidiki pandangan-pandangan keagamaan Al-Sinkili. Jelaslah, Al-Sinkili berhasil lulus dari “ujian” itu, sebab dia segera merebut hati kalangan istana. Kemungkinan besar, ia ditunjuk Sultanah Shafiyat Al-Din menggantikan Sayf Al-Rijal untuk menduduki jabatan sebagai Qadhi Malik al-‘Adil atau Mufti, yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.
Perlu diinformasikan juga, kondisi Aceh di awal kembalinya Al-Sinkili dari Arabia sedang dalam kekacauan agama dan kemunduran politik. Kekacauan agama ditandai dengan peristiwa besar, berupa pertentangan antara mistiko-filosofis wahdatul wujud yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumaterani dan ajaran Asy’ariyyah yang dikembangkan Al-Raniri yang berakhir dengan fatwa “sesat” dan “pembunuhan” terhadap pengikut keduanya. Sementara itu, kemunduran politik di Aceh ditandai dengan banyaknya wilayah di bawah kekuasaan Sultanah Shafiyat Al-Din di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan diri dari pemerintah pusat.
Kekacauan politik ini –walaupun tidak sampai menimbulkan perebutan kekuasaan- juga berlanjut kepada masalah kepemimpinan perempuan dalam hukum Islam, yang tidak tepecahkan di kalangan orang-orang Aceh, karena para ulama di sana juga tidak bisa menjawabnya. Bahkan Al-Sinkili pun, tampaknya ia tidak berhasil menjawabnya secara gamblang. Dalam karya fiqhnya, Mir’at Al-Thullab, dia tidak membahas masalah itu secara langsung. Ketika membicarakan tentang syarat-syarat untuk menjadi hakim (secara lebih luas, penguasa), Al-Sinkili tampaknya secara sengaja tidak memberikan terjemahan Melayu untuk kata dzakr (laki-laki).
Pertanyaan ini terus mengemuka, karena pada periode paruh abad ke-17 hingga akhir abad ke-17, kesultanan Aceh diperintah oleh empat orang Sultanah berturut-turut. Sultanah pertama adalah Shafiyat al-Din, yang menggantikan suaminya, Iskandar Tsani pada 1051 H/1641 M dan memerintah dalam tempo relatif lama hingga 1086 H/1675 M. Sultanah berikutnya, Nur Al-‘Alam Naqiyat Al-Din, setelah memerintah selama tiga tahun (1086-1088 H/1675-1678 M) digantikan Zakiyat Al-Din (1088-1098 H/1678-1688 H). Sedangkan Sultanah terakhir adalah Kamalat Al-Din (1098-1109 H/1688-1699 M).
Oleh karena itu, ketika Sultanah Zakiyat Al-Din menerima suatu delegasi dari Syarif Mekkah pada 1096 H/1683 M: -yang sejatinya akan menemui Sultan Moghul, Aurangzeb, tetapi ia menolak menerimanya. Dan delegasi itu pun putar haluan datang ke Aceh dengan membawa surat-surat dan hadiah-hadiah untuk Sultanah: Maka ia sangat gembira dan meminta mereka tinggal sebentar di ibukota, sekaligus ia mempersiapkan hadiah-hadiah untuk Syarif Mekkah. Dilaporkan, pada saat itu, Sultanah atas nama masyarakat Aceh mengirim hadiah-hadiah dan shadaqah yang terdiri atas, antara lain, sebuah patung terbuat dari emas yang diambil dari reruntuhan istana dan Masjid Baiturrahman yang terbakar pada masa pemerintahan Sultanah Naqiyat Al-Din.
Kedatangan delegasi Syarif Mekkah ke Aceh dianggap prestise oleh Sultanah Zakiyat Al-Din, dan rakyat Aceh pun memanfaatkan kedatangan mereka itu dengan menanyakan seputar kepemimpinan perempuan dalam hukum Islam. Namun demikian, delegasi Mekkah tidak mau langsung memberikan jawaban pertanyaan itu, tetapi membawa persoalan tersebut ke sidang para ulama Haramain. Jawaban masalah kepemimpinan perempuan itupun akhirnya baru datang dari Mekkah ke istana Aceh selang lima dekade semenjak Kesultanan Aceh di bawah tampuk kepemimpinan sultanah. Yakni, tepatnya, ketika masa kepemimpinan Zakiyat Al-Din telah berakhir dan digantikan Sultanah Kamalat Al-Din (1098-1109 H/1688-1699 M). Mufti kepala di Mekkah dikabarkan mengirimkan sebuah fatwa yang menyatakan, bahwa kepemimpinan perembuan bertentangan dengan hukum Islam. Akibatnya, Kamalat Al-Din diturunkan dari tahta, dan ‘Umar b. Qadi Al-Malik Al-‘Adil Ibrahim diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Badr Al-Alam Syarif Hasyim Ba Al-‘Alawi Al-Husaini, sekaligus menjadi titik tolak berdirinya Dinasti Arab, Jamal Al-Lail, di Aceh.
Dalam kapasitasnya sebagai Qadli Malik al-‘Adil (mufti kerajaan yang bertanggung jawab terhadap urusan keagamaan), Al-Sinkili diduga terlibat langsung dengan kejadian tersebut, walaupun tidak ditemukan peran pastinya dalam menerima tamu dari Mekkah tersebut. Juga dipastikan, bahwa ia mengetahui tentang kepemimpinan perempuan menurut Islam. Tetapi sikapnya yang tidak keras dalam memberi fatwa dan menerima kepemimpinan perempuan adalah indikasi lebih jauh dari toleransi pribadinya, suatu ciri yang amat mencolok pada diri Al-Sinkili. Walaupun secara tidak langsung, ia telah dituduh mengkompromikan integritas intelektualnya karena persoalan tersebut.
Dengan demikian, meski menghadapi berbagai kesulitan politik, dan pandangan yang beragam dalam masalah keagamaan, apalagi dengan kedatangan delegasi dari Syarif Mekkah, realitas tersebut menunjukkan kesultanan Aceh masih merupakan entitas politik Muslim yang tetap harus diperhitungkan.
Karya, Pemikiran dan Pembaruan Al-Sinkili
Mengenai karya, pemikiran dan pembaruan Al-Sinkili, tulisan ini akan menggunakan gaya penulisan integratif, bukan parsial. Karena, dari data-data (karya-karya intelektual) Al-Sinkili dari berbagai disiplin kelimuan, yang jumlahnya tidak kurang dari 22 buah buku, dapat dijadikan cerminan pemikiran dan pembaruannya.
Selama masa karier intelektual maupun politiknya yang panjang di Kesultanan Aceh, terjadi patronase antara Al-Sinkili dan para Sultanah yang berkuasa. Ini bisa dilihat dari karya fiqhnya, Mir’at al-Thullab fi Taysir al-Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab, yang ditulis atas permintaan Sultanah Shafiyat al-Din, dan diselesaikan pada 1074 H/1663 M. Juga, karyanya berupa penjelasan (syarh) atas kitab hadits ‘Arbain Nawawiyah yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyat Al-Din. Selain itu, masih ada 20 lagi karyanya yang membahas tentang berbagai disiplin ilmu: fiqh, tafsir, kalam, dan tasawuf.
Yang menarik, tulisan-tulisan Al-Sinkili kebanyakan diformulasikan berdasarkan konteks sosio-historis masyarakt Melayu, di samping juga mempertimbangkan tingkat kemampuan murid-muridnya yang kebanyakan masih awam dalam seluk beluk keagamaan. Meskipun, ia lebih suka menulis dalam bahasa Arab. Karena ia menyadari bahasa Melayunya tidak begitu bagus, setelah kepergiannya yang cukup lama ke Arabia. Untuk keperluan penulisan dalam bahasa Melayu Sumatera, yang dalam istilah Al-Sinkili disebut Lisan al-Jawiyyat al-Samatra’iyyah, ia dibantu oleh beberapa guru bahasa Melayu yang berdomisili di Aceh.
Menurut Azyumardi Azra, dalam seluruh tulisannya, Al-Sinkili, seperti gurunya Al-Kurani, tampak menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau dalam istilahnya sendiri, antara ilmu lahiriah dan ilmu batiniyah. Karena itu, ajaran-ajaran yang diusahakannya untuk disebarkan di wilayah Melayu-Nusantara adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam neo-sufisme.
Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syari’iyyah li Al-Malik Al-Wahhab adalah karya pertama ulama Melayu-Nusantara di bidang fiqh mu’amalah, yang membahas secara komprehensif tentang masalah politik, sosial, ekonomi, dan keagamaan kaum Muslimin. Sebagai perbandingan, karya ini berbeda dengan Shirath al-Mustaqim karya Al-Raniri yang hanya membahas tentang aspek ibadah saja. Karena mencangkup topik-topik yang begitu luas, ia jelas merupakan suatu karya terpenting di bidang tersebut.
Sumber utama karya ini adalah Fath al-Wahhab karya Zakariyya Al-Anshari. Tetapi Al-Sinkili juga mengambil bahan dari buku-buku standar seperti Fath al-Jawab dan Tuhfat al-Muhtaj, keduanya karya Ibn Hajar Al-Haytsami (w. 973 H/1565 M); Nihayat al-Muhtaj karya Syams Al-Din Al-Ramli; Tafsir al-Baydhawi karya Ibn ‘Umar Al-Baydhawi (w. 685 H/1286 M); dan Syarh Shahih Muslim karya Al-Nawawi (w.676 H/1277 M).
Melalui Mir’at al-Thullab, Al-Sinkili tampak ingin menunjukkan kepada kaum Muslim Melayu, bahwa doktrin-doktrin hukum Islam tidak terbatas pada ibadah saja, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan sehari-hari, seperti pernikahan (munakahat), jinayat, dan pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mencuat di tengah masyarakat.
Secara lebih umum, pemikiran fiqh mu’amalah Al-Sinkili di bidang politik dan peradilan agama, tampak dari keterlibatannya secara aktif dalam pemerintahan Kesultanan Aceh selama ia menjabat sebagai Qadli al-Malik al-‘Adil atau mufti yang bertanggung jawab untuk menata urusan keagamaan. Dalam konteks ini, Hooker pernah mengemukakan, bahwa Mir’at al-Thullab merupakan rujukan utama kitab Lumaran, sebuah kumpulan hukum Islam yang digunakan kaum Muslim Mindanau, Filipina, sejak pertengahan abad ke-19. Karya lain Al-Sinkili dalam bidang fiqh adalah kitab Al-Fara’idh yang membahas tentang pembagian harta waris yang digunakan oleh kaum Muslim Melayu-Nusantara hingga waktu belakangan ini.
Dalam bidang tafsir, Al-Sinkili merupakan ulama pertama di dunia Islam Melayu yang mempersiapkan tafsir Al-Qur'an secara lengkap dalam bahasa Melayu dengan karyanya, Tarjuman al-Mustafid, yang diselesaikan selama karier panjangnya di Kesultanan Aceh. Telaah baru-baru ini menemukan bahwa sebelum dia, hanya ada sepenggal tafsir atas QS. Al-Kahfi (18). Karya itu diperkirakan ditulis pada masa Hamzah Fansuri atau Syams Al-Din Al-Samaterani, mengikuti tradisi Tafsir al-Khazin. Tetapi gaya terjemahan dan penafsirannya berbeda dengan Hamzah atau Syams Al-Din, yang lazim menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengutip penggalan ayat dalam karya-karya mereka secara mistis.
Sebagai tafsir paling awal di Melayu-Nusantara, tidak mengherankan kalau karya Al-Sinkili bukan saja beredar luas di wilayah ini, tapi bahkan sampai dibaca di kalangan komunitas Melayu di Afrika Selatan –mereka kemungkinan adalah pengikut Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra juga memberikan kesimpulan bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafid ini mencerminkan ketinggian nilai dan intelektual Al-Sinkili. Pasalnya, edisi cetaknya terbit di berbagai belahan dunia Islam, seperti: Singapura, Penang, Jakarta, Bombai, Istambul, Kairo, dan Mekkah dalam kurun waktu panjang, dari akhir abad ke-17 sampai akhir abad ke-20.
Corak penulisan Tarjuman al-Mustafid ini mengikuti alur Tafsir al-Jalalan, karya monumental Jalal Al-Din Al-Mahalli dan Jalal Al-Din Al-Suyuthi. Hanya pada bagian-bagaian tertentu saja Al-Sinkili memanfaatkan Tafsir al-Baydhawi dan Tafsir al-Khazin. Corak demikian dimaksudkan Al-Sinkili sebagai teks pendahuluan yang bagus untuk orang-orang yang baru mempelajari tasir Al-Qur'an di kalangan Muslim Melayu-Nusantara, agar mereka mudah memahami makna Al-Qur'an sehingga bisa mempraktekkan isinya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk keperluan karyanya ini, ia menerjemahkan Tafsir al-Jalalain ke dalam bahasa Melayu secara sederhana agar mudah dipahami orang Melayu pada umumnya. Karenanya, ia menerjemahkan Tafsir al-Jalalayn kata perkata dengan tidak memberikan tambahan dalam bentuk penjelasan atau komentar apapun dari dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, dia menghapuskan penjelasan-penjelasan tata bahasa Arab dan penafsiran-penafsiran panjang, yang dinilainya justru menyulitkan pembaca.
Nilai signifikansi karya tafsir Al-Sinkili ini adalah merupakan suatu petunjuk dalam sejarah keilmuan tafsir Al-Qur'an di Melayu, dimana ia meletakkan dasar-dasar bagi sebuah jembatan antara tarjamah (tarjemahan) dan tafsir, dan karenanya mendorong telaah lebih lanjut atas karya-karya tafsir dalam bahasa Arab. Selama hampir tiga abad, Tarjuman al-Mustafid merupakan satu-satunya terjemahan lengkap Al-Qur'an di Melayu. Baru, dalam tiga puluh tahun terakhir muncul tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu-Nusantara. Dengan demikian, boleh dikatakan, karya Al-Sinkili ini memainkan peranan penting dalam memajukan pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran Islam.
Dalam bidang hadits, Al-Sinkili menulis dua karya. Pertama, Syarkh kitab Arba’in al-Nawawi, (Empat Puluh Hadits Kumpulan Al-Nawawi), yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyat Al-Din. Kitab ini merupakan sebuah koleksi kecil hadits-hadits yang mengupas masalah kewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum Muslim secara umum. Kedua, Al-Mawa’izh al-Badi’ah, sebuah koleksi hadits qudsi. Dalam kumpulan hadits qudsi ini, Al-Sinkili mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan penciptaan neraka dan surga, dan cara-cara yang layak bagi kaum Muslimin untuk mendapatkan rida Allah SWT. Al-Sinkili secara khusus juga menekankan perlunya bagi setiap Muslim menemukan keselarasan antara pengetahuan (‘ilm) dan perbuatan baik (‘amal). Pasalnya, pengetahuan saja tidak akan membuat seseorang menjadi Muslim lebih baik, karena itu dia juga harus melakukan perbuatan-perbuatan baik pula.
Dari keempat karya di bidang ilmu zahir-nya di atas, Al-Sinkili berusaha memberikan pemahaman secara sederhana kepada kepada kaum awam untuk menjalankan ajaran agamanya secara praktis dan mengikuti tuntunan syariat. Bahkan bukan hanya itu, Al-Sinkili juga menulis sejumlah karya untuk kalangan elit (al-khawwash) mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu batiniyah seperti kalam dan tasawuf. Dia menulis beberapa karya yang membahas topik-topik ini. Dalam Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdat al-Wujud, Al-Sinkili mempertahankan transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya. Dia menolak pendapat wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya.
Al-Sinkili berpendapat, sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dari nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar permanen (al-a’yan al-tsabithah), yaitu potensi alam raya, yang menjadi pola-pola dasar luar (al-a’yan al-kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Kemudian Al-Sinkili menyimpulkan, meski berbeda dari Tuhan, hubungan keduanya adalah seperti tangan dan bayangannya. Meski tangan hampir tidak dapat dipisahkan dari bayangannya, yang terakhir itu tidak sama dengan yang pertama. Dengan ini, Al-Sinkili menegaskan transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya.
Dalam risalah pendeknya yang berjudul Daqa’iq al-Hurf, Al-Sinkili juga mengemukakan argumen yang sama. Karya ini merupakan penafsiran atas apa yang dinamakan “empat baris ungkapan panteistis” dari Ibn ‘Arabi. Meski Al-Sinkili juga memanfaatkan sistem emanasi neo-Platonis, yang juga erat kaitannya dengan panteisme Syams Al-Din -yang dengan demikian menurut Martin Van Bruinessen digolonglan sebagai pendukung wahdat al-wujud- ia secara hati-hati dan sadar menjaga jarak dirinya dari penafsiran yang menyimpang.
Kehati-hatian dan kesadaran penafsiran Al-Sinkili yang demikian disebabkan pengaruh kuat intelektualisme dan kepribadian Al-Kurani dalam dirinya, yang menekankan pentingnya intuisi (kasyf) dalam jalan mistis, serta mengakui keterbatasan akal di dalam memahami hakikat Tuhan. Dalam membahas ke-Esaan Tuhan, misalnya, Al-Sinkili berpegang erat-erat pada konsep-konsep Al-Kurani, mengenai tawhid al-ulihiyyah (Keesaan Tuhan), tawhid al-af’al (Kesatuan Tindak Tuhan), tawhid al-shifat (Keesaan Sifat-sifat), tawhid al-wujud (Keesaan Esensi) serta tawhid al-haqiqi (Keesaan Realitas Mutlak).
Al-Sinkili menyatakan, cara paling efektif untuk merasakan dan menangkap Keesaan Tuhan adalah dengan menjalankan ibadat, terutama dzikr (mengingat Tuhan) baik secara diam (sirr) maupun dengan bersuara (jahr). Menurutnya, satu-satunya tujuan zikir secara lebih spesifik adalah mencapai al-mawt al-ikhtiyari (kematian “suka-rela”), atau apa yang dinamakan Al-Kurani, al-mawt al-ma’nawi (kematian “ideasional”) yang merupakan kebalikan dari al-mawt al-thabi’i (kematian alamiah).
Dalam kitab Al-Simth Al-Majid, Al-Sinkili mengikuti metode zikir Al-Qusyasyi melalui jalan tarekat Syathariyyah –walaupun ia juga pengamal beberapa tarekat lainnya seperti Naqsyabanddiyyah dan Qadiriyyah. Ia juga mengikuti ajaran-ajaran Al-Qusyasyi mengenai kewajiban murid terhadap guru mereka. Hal ini tampak dari dua risalahnya, masing-masing: Risalah Adab Murid akan Syaikh dan Risalah Mukhtasharah fi Bayan Syurut al-Syaikh wa al-Murid.
Dari pemikiran kalam, sufistik dan fiqhnya, dapat diketahui, bahwa Al-Sinkili secara sadar turut menyebarkan dan memperkuat doktrin dan kecenderungan intelektual dan praksis tradisi Islam di Melayu-Nusantara, dengan ciri paling menonjolnya yakni neo-sufisme. Ia berusaha memperbaharui pandangan bahwa tasawuf bisa berjalan seiring dengan syariat. Menurutnya, hanya dengan kepatuhan mutlak pada syariat para penganut jalan mistis dapat memperoleh pengalaman haqiqah (realitas) sejati.
Sebagai seorang mujaddid bergaya revolusioner, bukan radikal sebagaimana Al-Raniri, Al-Sinkili lebih menyukai jalan rekonsiliasi mendamaikan pandangan-pandangan yang saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Oleh karena itu ia merevisi fatwa radikal Al-Raniri yang menganggap sesat, kafir dan menghukum bunuh para penganut doktrin wahdat al-wujud yang dikembangkan Hamzah Fansuri dan Al-Sumaterani, meskipun ia tidak setuju terhadap aspek tertentu doktrin wahdat al-wujud tersebut. Karena menurutnya, adalah berbahaya menuduh orang lain kafir dengan mengutip sebuah hadis Rasulullah SAW yang menyatakan: “Janganlah menuduh orang lain menjalankan kehidupan penuh dosa atau kafir, sebab tuduhan itu akan berbalik jika ternyata tidak benar.”
Dari berbagai sumber...Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar