Cari di Blog ini

Translate

Gunakan Ctrl+F untuk mencari kata dalam halaman ini

Kamis, 01 April 2010

Kita dan Amerika Serikat

Bagikan di Facebook

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Dalam persinggahannya selama beberapa jam di pulau Bali, Presiden A.S George Walter Bush Junior telah "memanggil" Kepala Negara kita dan bertemu dengan sejumlah pemimpin agama. Kedua pertemuan itu terjadi di sebuah resort pantai, mungkin karena ia tidak percaya kepada kemampuan kita untuk melindungi dirinya dari tindakan terorisme, yang dapat saja terjadi di pulau Dewata itu. Sebuah kontradiksi yang terasa aneh: Kalau ia tidak merasa aman di sini, mengapa ia singgah kemari? Berarti kunjungan itu bersifat terpaksa, dengan pertimbangan kalau tidak singgah di sini akan merasa lebih aneh, karena Indonesia adalah Negara besar dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa. Walau kunjungan yang serba "terpaksa" itu, dilakukan karena pertimbangan Bush yang serba geopolitis. Tetapi sama sekali tidak menimbulkan rasa hormat kita, karena tampak jelas di dalamnya, bagaimana negara adikuasa itu mempertahankan kepentingannya dengan menginjak-injak perasaan orang lain.


Seolah-olah kita adalah bangsa jajahan negara itu, yang "terpaksa" disinggahi agar tidak terlepas dari status jajahan tersebut.. Bush "melupakan" perkembangan politik di Indonesia dan hanya merasa penting adanya "pebenaran sikapnya" dalam masalah terorisme yang sampai hari ini masih terjadi di beberapa tempat. Namun ia tidak mempersoalkan sebab-sebab dan asal-usul hal-hal terorisme itu. Pertanyaan besar muncul dari pernyataan Panglima TNI dan Kasad baru-baru ini, bahwa alat negara itu tidak akan mundur dari sikap menyelesaikan kejadian di Poso. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: siapa yang mereka maksudkan, atau lebih tepat lagi, apakah peledakan bom di daerah Poso itu "dibuat" oleh orang luar? Luar kawasan itukah, jadi masih di dalam negeri ataukah luar negeri?



Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang mau tidak mau lalu memunculkan sikap serba heran dalam diri kita, yang tidak "terlerai" oleh kunjungan Bush tersebut. Jika diingat sikap A.S seolah-olah kita ini adalah negara jajahannya, seperti terlihat dari kasus F-18 Hornet dan latihan Angkatan Laut A.S di kawasan sebelah barat pulau Natuna (perairan propinsi Riau), maka seperti apa yang dikatakan Prof. DR. Syafii Ma'arif (Ketua Umum PP Muhammadiyah) di muka layar televisi, bahwa kita ini bagai tidak memiliki kedaulatan lagi atas negeri kita. Lengkaplah sudah kesan bahwa kita adalah negeri jajahan. Pertanyaannya adalah siapakah yang menjajah kita? Sebagai orang berpikir, penulis merasakan benar adanya deretan pertanyaan cukup seperti itu di kalangan bangsa kita. Seperti mereka juga, penulis mendambakan jawaban-jawaban yang jujur dan terbuka sehingga kita tahu jelas bagaimana situasi kita sendiri sebagai bangsa dan negara pada saat ini. Masihkah kita benar-benar merdeka dan berdaulat? Kalau kita memang dijajah orang lain, tentu kita harus melawan dengan cara-cara kita sendiri, karena prinsip ini adalah bagian dari kesadaran kita yang menerima warisan kemerdekaan politik dari para pejuang di masa lampau yang telah mengorbankan puluhan ribu jiwa untuk mencapai kemerdekaan politik. Kita masih teringat akan Bung Karno dan Bung Hatta yang dibuang Belanda, tentara kita yang bergerilya dan rakyat kebanyakan yang melindungi mereka ketika bergerilya melawan para penjajah. Kita tidak boleh melupakan itu, bahwa ratusan tahun lamanya kita menentang penjajahan di negeri ini. Kita juga menyadari, bahwa kedaulatan Negara kita yang timbul dari "kemerdekaan politik" itu belum mencerminkan kenyataan, karena di bidang-bidang lain seperti ekonomi, kebudayaan dan pendidikan, kita masih terjajah. Di bidang ekonomi kita masih "terjajah" oleh jaringan usaha yang selalu menekan kita, agar hanya menjual barang-barang mentah di pasaran dunia, sambil membuka pasaran dalam negeri kita untuk barang-barang impor dari sejumlah pengusaha di negeri lain.


Namun tentu saja, kita tidak ingin meninggalkan ketiga prinsip berikut dalam usaha kita: berada dalam lingkup perdagangan internasional yang bebas, kompetisi tanpa hambatan bagi perusahaan-perusahaan kita sendiri, dan penggunaan efisiensi yang rasional dalam usaha kita. Tetapi dengan perlindungan yang penuh atas kepentingan-kepentingan bangsa kita sendiri. Dengan demikian kita akan menjadi bangsa yang besar jika mampu menggabungkan berbagai macam kepentingan dalam negeri dan luar negeri sebagaimana seharusnya, dan itu hanya dapat dicapai manakala kita tetap menjadi satu bangsa dan negara. Karenanya, kedaulatan kita atas diri sendiri dan atas wilayah haruslah dijaga sekuat mungkin. Hanya dengan cara demikian kita dapat mempertahankan hak hidup sebagai bangsa dan negara dalam pergaulan internasional yang penuh dengan pertentangan kepentingan antar negara dan antar bangsa.



Tulisan ini dibuat ketika penulis berada di Gorontalo. Karena itu, penulis dalam pembicaraan denga seorang tokoh daerah itu diingatkan akan Nani Wartabone, seorang pahlawan perintis kemerdekaan yang menjelang masuknya Jepang ke negeri kita. Telah menangkap orang-orang Belanda dan memproklamirkan kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Demikian pula, ketika PERMESTA memberontak, karena ketidakmampuan pemerintah pusat "menampung" berbagai aspirasi masyarakat Sulawesi bagian utara, namun Nani Wartabone tetap membela kesatuan bangsa dan keutuhan negara, dengan membela pemerintah pusat. Semestinya ia memperoleh gelar pahlawan nasional untuk jasa-jasanya kepada bangsa dan negara itu. Tetapi entah hingga tulisan ini dibuat, gelar yang diperolehnya hanya berhenti pada Perintis Kemerdekaan.


Karena pandangan-pandangannya yang serba "nasionalistik", penulis sering dianggap menentang kepentingan Amerika Serikat. Tetapi ini tidak benar, karena bagaimanapun juga penulis mementingkan terpenuhinya kepentingan berbagai negara dan bangsa Indonesia dalam pergaulan internasional. Karenanya ia menolak campur tangan siapapun dalam masalah-masalah yang bersangkutan dengan kedaulatan Indonesia. Ini adalah harga mati yang harus kita bayar, kalau perlu dengan jiwa raga kita. Sikap di luar itu, dalam pandangan penulis, adalah penghinaan terhadap cita-cita bangsa dan negara kita. Selebihnya, kita harus mampu bergaul baik dengan siapapun dan sanggup hidup damai dengan pihak manapun. Kalau ada masalah yang dihadapi dengan Negara dan bangsa lain, haruslah diselesaikan dengan jalan perundingan, kalau semua jalan menjadi buntu tentulah melalui Mahkamah Internasional. Memang mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?


Gorontalo, 27 Oktober 2003

Sumber : pratikno.ananto@gmail.com

Jika tulisan ini bermanfaat bisa dibagikan di Facebook dengan cara klik tombol di bawah ini :
Bagikan di Facebook



Lainnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar