Cari di Blog ini

Translate

Gunakan Ctrl+F untuk mencari kata dalam halaman ini

Rabu, 02 Juni 2010

Amaliyah Gus Dur

Share On Facebook

Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri



Memperingati 100 hari wafat Gus Dur. Duduk di depan makam Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) dan tokoh-tokoh Tebuireng, Kiai sepuh kharismatik, KH. Maemoen Zubair yang malam itu hadir bersama nyai dalam acara 40 hari wafat Gus Dur di Tebuireng, sempat bertanya –seolah-olah kepada diri—mengenai fenomena presiden keempat itu.


Pertanyaan yang juga mengusik pikiran saya dan mungkin banyak orang yang lain. Amaliah Gus Dur apa kira-kira yang membuat cucu Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisri Sansuri itu dihargai dan dihormati orang sedemikian rupa setelah kemangkatannya. Penghormatan yang belum pernah terjadi pada orang lain, termasuk presiden maupun kiai.



Pers dunia tidak hanya memberitakan kewafatannya, tapi menulis tentang diri Gus Dur. Di saat pemakaman, keluarga ; masyarakat; dan pemerintah; seperti ‘berebut’ merasa paling berhak menghormatinya. Dan ternyata pemakaman Kiai Bangsa ini bukanlah penghormatan terakhir. Rombongan demi rombongan dari berbagai pelosok tanah air, setiap hari berdatangan di makamnya. Bahkan banyak peziarah yang memerlukan datang dari luar negeri. Mereka semua datang dengan tulus menangisi dan mendoakannya. Sebagian malah ada yang memohon maaf kepada Gus Dur atas kesalahannya; termasuk seorang ibu yang menangis memohon maaf karena tahun 2004 tidak memilih PKB.


Di samping acara-acara doa bersama untuk Gus Dur, berbagai acara untuk mengenang dan menghormati almarhum diselenggarakan dimana-mana. Ada yang bersifat ritual keagamaan; ada yang dikemas dalam bentuk pengajian umum, saresehan, kesenian, dlsb. Acara-acara itu tidak hanya diselenggarakan oleh kalangan Pesantren, Nahdliyin, kaum muslimin; tapi juga oleh kalangan agama-agama dan etnis lain. Dalam rangka peringatan 40 hari wafatnya, di mana-mana pun orang menyelenggarakan acara khusus. Tidak hanya di Tebuireng dan Ciganjur Saya sendiri dapat sembilan undangan dalam rangka yang sama.


Saya mendatangi undangan Gus Sholahuddin Wahid dan keluarga Bani Wahid di Tebuireng. Menyaksikan ribuan warga masyarakat yang mulai pagi hari sudah berdatangan menuju komplek Pesantren dimana terletak makam Gus Dur. Rahmat Allah berupa hujan, mengguyur Tebuireng dan sekitarnya. Saya menyaksikan sekian banyak orang ber-basah-basah berjalan dari tempat-tempat kendaraan mereka di parkir –yang jaraknya berkisar antara 3 sampai 5 km—menuju ke makam. Saya menyaksikan di samping tempat-tempat parkiran, tukang-tukang ojek dadakan, juga warung-warung baru. Semuanya itu tentu untuk melayani para peziarah.


Dan malam itu, ribuan umat duduk khidmat di sekitar makam untuk berdzikir dan berdoa. Renyai hujan seolah-olah ikut mengamini doa mereka. Saya mendengar kabar, hal yang kurang lebih sama juga terjadi di Ciganjur.


Kembali ke pertanyaan Kiai Maemoen di atas. Ketika Gus Dur ke rumah saya di Rembang, seminggu sebelum wafat, beliau ada menceritakan mimpi saudaranya. Mimpi, yang menurut saudaranya itu, aneh dan ingin ditolaknya. Saudaranya itu bermimpi berada dalam jamaah salat. Termasuk yang ikut menjadi makmum adalah Hadhratussyeikh KHM. Hasyim Asy’ari dan yang menjadi imam … Gus Dur.
Barangkali untuk menghilangkan kekecewaan saudaranya yang tampak kurang senang Mbah Hasyim kok makmun Gus Dur meski hanya dalam mimpi, Gus Dur pun berkata menafsiri mimpinya itu: “Ya kalau soal akhlak dan agama, imamnya memang harus Hadhratussyeikh; tapi kalau soal politik, imamnya ya saya.”


Tapi tentu saja bukan karena ‘politik’nya, Gus Dur mendapat penghargaan dan penghormatan yang begitu fenomenal dari umat. Apalagi pada saat dunia politik cemar dan memuakkan seperti sekarang ini. Lalu, apakah karena ‘amaliyah pluraliyah’-nya? Tentu bukan juga. Sebab kalau karena ini, bagaimana kita menjelaskan tentang banyaknya kiai yang juga merasa sangat kehilangan dengan wafatnya Gus Dur dan dengan tulus mendoakannya, padahal mereka tidak paham atau tidak setuju pluralisme?


Ataukah fenomena itu hanya sekedar pengejawentahan dari rasa kesal masyarakat terhadap umumnya pemimpin yang masih hidup, yang tidak jujur (lain di mulut, lain di perbutan), dan tidak konsisten memikirkan dan berpihak kepada rakyat?


Menurut saya sendiri; Gus Dur dihargai dan dicintai beragam orang, karena Gus Dur menghargai keberagaman dan mencintai beragam orang. Gus Dur dihormati orang secara tulus, karena Gus Dur tulus menghormati orang. Gus Dur bersemayam di hati orang banyak, karena orang banyak selalu berada di hati Gus Dur. Gus Dur, setahu saya, sering dan banyak berbeda dengan orang, tapi tidak pernah benci kepada mereka yang berbeda, bahkan kepada yang membencinya sekalipin. Gus Dur tidak hanya mengenal persaudaraan kepartaian; persaudaraan ke-NU-an; persaudaraan keIslaman; persaudaraan keseimanan; persaudaraan keIndonesiaan; tapi lebih dari itu juga persaudaraan kemanusiaan. Dan itu amaliyah. Bukan sekedar ucapan. Wallahu alam.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.

Sumber : pratikno.ananto@gmail.com



Lainnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar