Cari di Blog ini

Translate

Gunakan Ctrl+F untuk mencari kata dalam halaman ini

Jumat, 25 Juni 2010

Salah Anggapan

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus)


Kalau saya, misalnya, disuruh mengajar kitab Sullam Safiinah atau A-Jurumiyah kepada anak-anak santri atau mengimami salat di mushalla, insya Allah saya bisa. Atau sekedar secara global mengamarmakruf-nahimunkari orang-orang yang saya cintai, saya insya Allah juga bisa. Tapi kalau saya disuruh memimpin dan menata suatu organisasi, lebih-lebih organisasi politik, atau menjadi manager perusahaan, terus terang saya tidak mampu. Saya tidak punya keahlian untuk itu. Saya tidak pernah belajar managemen dan administrasi. Bahkan sekolah formal yang sampai tamat, hanya Sekolah Rayat (sekarang SD).

Dawuh yang disampaikan almarhum ayah saya, "Maa halaka umru-un 'arafa qadrahu" (Tak akan rusak orang yang tahu batas kemampuannya) , rupanya sangat membekas, karena selalu saya ingat-ingat; terutama pada saat saya dihadapkan kepada suatu tugas atau tanggung jawab.. Ketika saya akan direkrut KBRI di Saudi Arabia untuk menjadi pegawai musim haji, misalnya, meskipun saya kepingin sekali (karena hanya dengan menjadi pegawai musim, waktu itu, saya bisa menunaikan ibadah haji), saya tidak buru-buru menerimanya, tapi saya tanyakan dulu kepada yang berwenang, apa tugas-tugas saya. Saya khawatir saya diberi tugas yang di luar kebisaan saya.



Ketika kawan-kawan mendaftarkan saya untuk menjadi calon anggota DPD, yang pertama-tama saya tanyakan juga tentang tugas-tugas DPD. Karena terdesak jadwal KPU, kawan-kawan bilang yang penting daftar dulu. Dan baru setelah mendaftar, saya diberitahu rincian tugas-tugas DPD. Ketika saya tahu tugas-tugasnya, saya pun mengundurkan diri. Saya takut –kalau saya tetap mencalonkan diri—bukan hanya diri saya yang akan kapiran, tapi bisa-bisa juga orang banyak dan bahkan mungkin negara ikut kena dampaknya. Bukankah Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Idzaa wussidal amru ilaa ghairi ahlihi fantazhiris saa'ah"?! (Apabila urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah kiamatnya)



Waktu berdirinya PKB dan Muktamarnya yang pertama di Surabaya , banyak sekali tokoh yang mendorong-dorong saya dan mencalonkan saya sebagai Ketua Umum, termasuk Gus Dur sendiri. Tapi saya tahu sesuatu yang orang lain tidak begitu tahu, yaitu kemampuan saya. Saya tidak punya keahlian untuk memimpin organisasi politik. Dari pada ngrusak dandanan, lebih baik saya tolak. Kekecewaan orang karena gagal mencalonkan saya, tidak seberapa dibandingkan dengan kekecewaan yang pasti terjadi bila saya menerima jabatan itu.



Di NU, saya sering dikritik sebagai orang yang hanya bisa mengkritik tapi lari bila diserahi tanggung jawab sendiri. Kritikan ini benar sekali. Kalau mau analog yang agak gagah, saya ini ibaratnya kritikus sastra. Saya bisa menunjukkan puisi ini atau prosa itu istimewa atau banyak kekurangannya, tapi saya sendiri tak bisa membuat puisi atau prosa yang baik. Di NU, saya memang hanya membaca Khitthah NU dan perilaku para pendiri dan pendahulu-pendahulu NU. Tapi pengetahuan tentang hal ini adalah satu hal dan pengetahuan tentang memimpin organisasi ada hal yang lain.



Tapi bukan berarti saya tidak pernah tergoda oleh suatu jabatan yang disodorkan kepada saya. Misalnya ketika banyak kiai dan tokoh ramai berkehendak mencalonkan saya menjadi ketua umum NU di Muktamar Lirboyo dan di Donohudan, terbentik juga angan-angan, wah bila aku turuti kehendak mereka dan saya benar-benar menjadi ketua umum NU, bagaimana ya rasanya menjadi pemimpin berjuta umat. Saya bisa mengendalikan banyak orang. Pikiran-pikiran saya akan dapat saya implementasikan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan organisasi. Saya bisa ini, bisa itu.Wah. Tapi alhamdulillah, setiap kali godaan angan-angan tentang hal-hal yang bersifat gengsi dan prestise itu, dapat dikalahkan oleh kesadaran akan keterbatasan kemampuan saya dan sabda Nabi tersebut.



Orang lain sering hanya melihat tampakan luar yang acap kali menipu. Orang yang dilihat mempunyai satu-dua keahlian, celakanya, lalu dianggap ahli dalam semua hal. Dan kenyataan membuktikan memang banyak juga orang yang senang dianggap ahli dalam banyak hal dan berusaha memperteguh anggapan itu. Ada semacam kecenderungan umum menganggap seorang tokoh yang dikenal memiliki kemampuan di satu bidang, dianggap memiliki keahlian di berbagai atau bahkan di semua bidang. Seorang profesor misalnya, tanpa peduli profesor di bidang apa, dianggap sebagai profesor serba bidang, ahli apa saja. Seorang ahli pidato dianggap sebagai orang yang pasti mampu melaksanakan semua yang dipidatokan.Seorang yang berhasil memimpin majlis taklim, dianggap pasti mampu juga menjadi memimpin daerah, menjadi bupati. Demikian seterusnya. Dan tak jarang yang bersangkutan justru senyum-senyum berusaha meyakinkan kebenaran anggapan yang mustahil itu.



Kalau berhenti pada anggapan saja, mungkin tidak mengapa. Tapi kalau kemudian hal itu dijadikan dasar dan pertimbangan untuk merekrut atau mendudukkan "tokoh-tokoh anggapan" itu dalam jabatan-jabatan yang di luar keahlian mereka yang sebenarnya, insya Allah tinggal menunggu saja datangnya kiamat.



.Saya tak tahu mengapa, melihat kasus Mulyana W. Kusuma dan Said Aqil H. Munawar, saya kok lalu menulis tentang diri saya seperti ini. Jangan-jangan di lubuk hati saya, memang ada sebersit anggapan bahwa mereka adalah korban dari salahanggapan-salahanggapan yang meruyak di negeri ini.



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


Sumber : pratikno.ananto@gmail.com


Share On Facebook




Lainnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar