Oleh : Dr. KH. A. Mustofa Bisri
Dalam rangka mereformasi diri, mereformasi keberagamaan saya sebagai muslim -yang akhir-akhir ini dirisaukan oleh berita-berita negatif mengenai beberapa oknum muslim dan lembaga Islam- pada bulan suci Ramadan kemarin saya sempat merenung. Di antaranya tentang dakwah.
Saya membayangkan, seandainya para Wali Sanga (atau Wali Sana) dan dai-dai bijak yang lain tempo dulu tidak berdakwah, atau berdakwah tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Quran dan Rasulullah, kira-kira apa saya akan mengenal dan mengikuti jalan Allah serta menikmati ajaran Islam yang mulia seperti sekarang ini? Bahkan, umat Islam di negeri kita apakah akan menjadi mayoritas seperti sekarang ini? Alhamdulillah, para dai pendahulu itu -tidak seperti banyak kalangan Islam sekarang ini- begitu sabar, telaten, dan bijaksana dalam berdakwah, mengikuti tuntunan Quran dan Rasulullah SAW.
Mereka benar-benar berdakwah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Seperti kita ketahui, dakwah adalah mengajak. Mengajak lain dengan memerintah atau apalagi memaksa. Mengajak bernuansa lembut dan membujuk. Kebanyakan calo terminal tidak berhasil mengajak orang naik bus juragannya, karena mereka tidak mengenal makna dan etika mengajak. Sikap mereka lebih menyiratkan pemaksaan ketimbang ajakan.
Dalam kaitan dakwah Islamiah, sasaran dakwah -sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Quran (Q. 16: 125 dst)- ialah mereka yang belum tahu atau belum mengambah jalan Allah. Kita tahu bahwa pada zaman Wali Sanga, orang yang belum di jalan Allah jauh lebih banyak daripada sekarang. Bahkan, boleh dikata yang sudah berada di jalan Allah masih langka sekali. Alangkah besarnya jasa dan pahala para pendahulu itu. Saya membayangkan, seandainya para wali itu seperti banyak pengajak Islam masa kini yang tidak sabaran dan suka main gasak dan sikat, pastilah kita yang hidup sekarang ini masih belum mengenal Islam, apalagi Allah. Untunglah, yang ditiru para wali itu bukan tokoh-tokoh dunia yang tertindas dan kaku ati melihat kezaliman pihak lain yang kuat, tetapi konsisten mengikuti jejak Rasulullah SAW yang arif bijaksana.
Sesuai teladan Rasulullah SAW, mereka mengajak ke jalan Allah dengan bijaksana (bil-hikmah), menasihati dengan baik (bil-mauizhatil hasanah). Bila perlu berbantah, mereka melakukan dengan cara yang lebih baik lagi (billatie hiya ahsan). Mengajak bil-hikmah artinya melaksanakan dengan kelembutan dan memperhatikan siapa yang diajak, kemudian menyesuaikan ajakannya dengan kondisi yang diajaknya itu. Mengajak orang yang lebih tua, tentu berbeda dengan mengajak orang yang lebih muda, dan seterusnya. Mengajak juga mesti dengan kasih sayang dan tidak secara kasar.
Bahkan, Allah sendiri ketika mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun mendakwahi Firaun -yang tidak hanya kafir, tapi malah mengaku Tuhan- mewanti-wanti, "Waquulaa lahu qaulan layyinan.." (Q. 20: 44) "Berbicaralah kalian berdua kepadanya (Firaun) dengan perkataan yang lemah-lembut" Idealnya, orang yang mengajak orang lain, sebelumnya sudah mengajak dirinya sendiri. Orang yang mengajak naik bus A, sedangkan dia sendiri naik bus B, tentu membingungkan yang diajak. Orang yang mengajak ke agama kasih sayang, tetapi dia sendiri penuh kebencian, tentu saja aneh. (Anehnya, yang bersangkutan sendiri banyak yang justru tidak merasa aneh).
Mengajak bil-mauizhatil hasanah, mengandung arti diri yang mengajak sendiri haruslah sudah dapat melakukan apa yang dinasihatkan kepada orang lain. Bagaimana mungkin mengajak dan menasihati orang agar sabar, misalnya, dengan marah-marah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan iman dengan cara-cara Jahiliyah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan Islam dengan arogansi dan kebencian? Apabila yang diajak ke jalan Allah membantah, yang mengajak harus lebih baik lagi melayaninya. Perhatikanlah redaksi ayat 125 surah An-Nahl itu. Ketika berfirman tentang mauizhah, Allah menyifatinya dengan hasanah (baik) dan ketika berfirman tentang jidaal (berbantahan, polemik, berdialog, dsb), Allah menyifatinya dengan billatie hiya ahsan (dengan yang lebih baik).
Berbantah atau berdialog atau berpolemik yang lebih baik ialah yang semata-mata karena Allah dan untuk menunjukkan kebenaran, bukan mencari menang atau unjuk kekuatan. Ia juga menuntut kesediaan mendengarkan lawan bicara, tidak apriori. Billatie hiya ahsan juga mengisyaratkan bahwa jalan Allah yang baik, mesti tecermin juga dari cara orang yang mengajak dan berbantah. Bagaimana mungkin orang yang mengajak kepada kebaikan bisa diterima oleh yang diajak, bila cara-cara yang dipakainya justru tidak baik. Ayat Ud'u ilaa sabiili Rabbika. (Ajaklah ke jalan Tuhanmu) itu tidak menyebutkan siapa yang disuruh ajak. Para mufassir menafsirkan: yang diajak adalah semua orang. Tentu termasuk diri sendiri. Dan, mereka yang mengajak ke jalan Tuhan haruslah ingat kepada yang menyuruh mereka mengajak. Karena itu, mengajak ke jalan Tuhan haruslah hanya karena Allah. Bukan karena kepentingan ideologi perorangan atau kelompok. Dengan kata lain yang lebih singkat, tidak boleh mengajak ke jalan Allah karena dorongan atau tercampur nafsu.
Untuk lebih menjelaskan mengapa prinsip-prinsip mulia dalam berdakwah itu ditekankan, marilah kita baca penutup ayat itu: "Inna Rabbaka hua alamu biman dhalla an sabiilihi wahua alamu bilmuhtadiin." (Sesungguhnya Tuhanmulah yang lebih tahu mengenai mereka yang tersesat dari jalan-Nya dan Ialah yang lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk). Hidayah atau petunjuk Allah ke jalan-Nya adalah hak prerogratif-Nya dan hanya Ialah yang tahu siapa-siapa yang akan beruntung mendapatkannya.Nabi Muhammad SAW sendiri hanya diperintah berikhtiar mengajak orang -dengan cara-cara yang sudah ditunjukkan-Nya-, namun beliau sendiri tidak tahu apakah mereka yang beliau ajak itu akan taslim, mengikuti atau tidak. Hal itu semata-mata wewenang Allah. Nabi hanya menunjukkan jalan; sedangkan yang ditunjukkan jalan akan mengikutinya atau tidak bergantung pada kehendak Allah.
Jelasnya, Nabi tidak bisa memaksakan jalan Allah kepada orang lain, "Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta alaihim bimusaithirin" Q. 88: 21, 22. (Maka berilah mereka peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan. Kamu bukanlah penguasa atas mereka). Terbukti nabi-nabi, dengan segala kehebatan mereka, tidak mampu memaksakan keimanan kepada orang-orang dekat mereka. Allah mencontohkan Nabi Nuh dan Nabi Luth yang tidak bisa mengimankan istri-istri mereka sendiri. Bahkan, Nabi Muhammad SAW yang begitu paripurna segala-galanya sebagai manusia, tidak mampu mengimankan pamannya sendiri, Abu Lahab, yang nota bene tetangga dekat dan berbesanan dua orang anak dengan beliau (Kedua putri beliau, Ruqayyah dan Ummi Kultsum, pernah menjadi menantu Abu Lahab sebelum dia dan istrinya memusuhi Nabi).
Kalau Nabi saja tidak bisa memaksakan keimanan, bagaimana dengan kita? Untuk lebih utuhnya, baiklah kita baca ayat seterusnya: "Wa in aaqabtum faaaqibuu bimitsli maa uqibtum walain shabartum lahua khairun lish-shaabiriin." (Q. 16: 126) Dan jika kamu harus membalas (kejahatan) mereka, maka balaslah dengan yang sepadan dengan apa yang mereka lakukan (jangan melebihi) dan jika kamu bersabar, maka itu lebih baik bagi mereka yang sabar. Waba'du; dalam pikiran saya yang sederhana: bila mereka yang menurut anggapan kita belum berada di jalan Allah, tidak kita ajak, tetapi kita tumpas; lalu bagaimana nasib ayat dakwah ini? Dan bagaimana nasib Islam nanti bila semua yang menumpas itu sudah mati? Bukankah dakwah ke jalan Allah pada dasarnya adalah mengajak ke kebahagiaan abadi bersama kita? Dengan demikian, landasannya adalah kasih sayang dan bukan kebencian kepada sesama? Wallahu a'lam.
Dr. KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
Sumber : pratikno.ananto@gmail.com
Mereka benar-benar berdakwah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Seperti kita ketahui, dakwah adalah mengajak. Mengajak lain dengan memerintah atau apalagi memaksa. Mengajak bernuansa lembut dan membujuk. Kebanyakan calo terminal tidak berhasil mengajak orang naik bus juragannya, karena mereka tidak mengenal makna dan etika mengajak. Sikap mereka lebih menyiratkan pemaksaan ketimbang ajakan.
Dalam kaitan dakwah Islamiah, sasaran dakwah -sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Quran (Q. 16: 125 dst)- ialah mereka yang belum tahu atau belum mengambah jalan Allah. Kita tahu bahwa pada zaman Wali Sanga, orang yang belum di jalan Allah jauh lebih banyak daripada sekarang. Bahkan, boleh dikata yang sudah berada di jalan Allah masih langka sekali. Alangkah besarnya jasa dan pahala para pendahulu itu. Saya membayangkan, seandainya para wali itu seperti banyak pengajak Islam masa kini yang tidak sabaran dan suka main gasak dan sikat, pastilah kita yang hidup sekarang ini masih belum mengenal Islam, apalagi Allah. Untunglah, yang ditiru para wali itu bukan tokoh-tokoh dunia yang tertindas dan kaku ati melihat kezaliman pihak lain yang kuat, tetapi konsisten mengikuti jejak Rasulullah SAW yang arif bijaksana.
Sesuai teladan Rasulullah SAW, mereka mengajak ke jalan Allah dengan bijaksana (bil-hikmah), menasihati dengan baik (bil-mauizhatil hasanah). Bila perlu berbantah, mereka melakukan dengan cara yang lebih baik lagi (billatie hiya ahsan). Mengajak bil-hikmah artinya melaksanakan dengan kelembutan dan memperhatikan siapa yang diajak, kemudian menyesuaikan ajakannya dengan kondisi yang diajaknya itu. Mengajak orang yang lebih tua, tentu berbeda dengan mengajak orang yang lebih muda, dan seterusnya. Mengajak juga mesti dengan kasih sayang dan tidak secara kasar.
Bahkan, Allah sendiri ketika mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun mendakwahi Firaun -yang tidak hanya kafir, tapi malah mengaku Tuhan- mewanti-wanti, "Waquulaa lahu qaulan layyinan.." (Q. 20: 44) "Berbicaralah kalian berdua kepadanya (Firaun) dengan perkataan yang lemah-lembut" Idealnya, orang yang mengajak orang lain, sebelumnya sudah mengajak dirinya sendiri. Orang yang mengajak naik bus A, sedangkan dia sendiri naik bus B, tentu membingungkan yang diajak. Orang yang mengajak ke agama kasih sayang, tetapi dia sendiri penuh kebencian, tentu saja aneh. (Anehnya, yang bersangkutan sendiri banyak yang justru tidak merasa aneh).
Mengajak bil-mauizhatil hasanah, mengandung arti diri yang mengajak sendiri haruslah sudah dapat melakukan apa yang dinasihatkan kepada orang lain. Bagaimana mungkin mengajak dan menasihati orang agar sabar, misalnya, dengan marah-marah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan iman dengan cara-cara Jahiliyah? Bagaimana mengajak dan menasihatkan Islam dengan arogansi dan kebencian? Apabila yang diajak ke jalan Allah membantah, yang mengajak harus lebih baik lagi melayaninya. Perhatikanlah redaksi ayat 125 surah An-Nahl itu. Ketika berfirman tentang mauizhah, Allah menyifatinya dengan hasanah (baik) dan ketika berfirman tentang jidaal (berbantahan, polemik, berdialog, dsb), Allah menyifatinya dengan billatie hiya ahsan (dengan yang lebih baik).
Berbantah atau berdialog atau berpolemik yang lebih baik ialah yang semata-mata karena Allah dan untuk menunjukkan kebenaran, bukan mencari menang atau unjuk kekuatan. Ia juga menuntut kesediaan mendengarkan lawan bicara, tidak apriori. Billatie hiya ahsan juga mengisyaratkan bahwa jalan Allah yang baik, mesti tecermin juga dari cara orang yang mengajak dan berbantah. Bagaimana mungkin orang yang mengajak kepada kebaikan bisa diterima oleh yang diajak, bila cara-cara yang dipakainya justru tidak baik. Ayat Ud'u ilaa sabiili Rabbika. (Ajaklah ke jalan Tuhanmu) itu tidak menyebutkan siapa yang disuruh ajak. Para mufassir menafsirkan: yang diajak adalah semua orang. Tentu termasuk diri sendiri. Dan, mereka yang mengajak ke jalan Tuhan haruslah ingat kepada yang menyuruh mereka mengajak. Karena itu, mengajak ke jalan Tuhan haruslah hanya karena Allah. Bukan karena kepentingan ideologi perorangan atau kelompok. Dengan kata lain yang lebih singkat, tidak boleh mengajak ke jalan Allah karena dorongan atau tercampur nafsu.
Untuk lebih menjelaskan mengapa prinsip-prinsip mulia dalam berdakwah itu ditekankan, marilah kita baca penutup ayat itu: "Inna Rabbaka hua alamu biman dhalla an sabiilihi wahua alamu bilmuhtadiin." (Sesungguhnya Tuhanmulah yang lebih tahu mengenai mereka yang tersesat dari jalan-Nya dan Ialah yang lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk). Hidayah atau petunjuk Allah ke jalan-Nya adalah hak prerogratif-Nya dan hanya Ialah yang tahu siapa-siapa yang akan beruntung mendapatkannya.Nabi Muhammad SAW sendiri hanya diperintah berikhtiar mengajak orang -dengan cara-cara yang sudah ditunjukkan-Nya-, namun beliau sendiri tidak tahu apakah mereka yang beliau ajak itu akan taslim, mengikuti atau tidak. Hal itu semata-mata wewenang Allah. Nabi hanya menunjukkan jalan; sedangkan yang ditunjukkan jalan akan mengikutinya atau tidak bergantung pada kehendak Allah.
Jelasnya, Nabi tidak bisa memaksakan jalan Allah kepada orang lain, "Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta alaihim bimusaithirin" Q. 88: 21, 22. (Maka berilah mereka peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan. Kamu bukanlah penguasa atas mereka). Terbukti nabi-nabi, dengan segala kehebatan mereka, tidak mampu memaksakan keimanan kepada orang-orang dekat mereka. Allah mencontohkan Nabi Nuh dan Nabi Luth yang tidak bisa mengimankan istri-istri mereka sendiri. Bahkan, Nabi Muhammad SAW yang begitu paripurna segala-galanya sebagai manusia, tidak mampu mengimankan pamannya sendiri, Abu Lahab, yang nota bene tetangga dekat dan berbesanan dua orang anak dengan beliau (Kedua putri beliau, Ruqayyah dan Ummi Kultsum, pernah menjadi menantu Abu Lahab sebelum dia dan istrinya memusuhi Nabi).
Kalau Nabi saja tidak bisa memaksakan keimanan, bagaimana dengan kita? Untuk lebih utuhnya, baiklah kita baca ayat seterusnya: "Wa in aaqabtum faaaqibuu bimitsli maa uqibtum walain shabartum lahua khairun lish-shaabiriin." (Q. 16: 126) Dan jika kamu harus membalas (kejahatan) mereka, maka balaslah dengan yang sepadan dengan apa yang mereka lakukan (jangan melebihi) dan jika kamu bersabar, maka itu lebih baik bagi mereka yang sabar. Waba'du; dalam pikiran saya yang sederhana: bila mereka yang menurut anggapan kita belum berada di jalan Allah, tidak kita ajak, tetapi kita tumpas; lalu bagaimana nasib ayat dakwah ini? Dan bagaimana nasib Islam nanti bila semua yang menumpas itu sudah mati? Bukankah dakwah ke jalan Allah pada dasarnya adalah mengajak ke kebahagiaan abadi bersama kita? Dengan demikian, landasannya adalah kasih sayang dan bukan kebencian kepada sesama? Wallahu a'lam.
Dr. KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
Sumber : pratikno.ananto@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar