Oleh: Dr. KH. A. Mustofa Bisri
AWAM, bisa berarti umum atau kebanyakan atau tidak begitu menguasai. Jadi orang awam bisa berarti orang biasa yang tidak khusus (khawas) atau orang yang tidak (begitu) menguasai suatu bidang/masalah.
Dalam pengertian yang kedua, semua orang bisa saja awam. Orang yang mempunyai keahlian khusus dalam bidang teknologi misalnya, bisa awam di bidang agama. Sebaliknya, orang yang ahli agama, bisa jadi orang awam di bidang bisnis. Demikian seterusnya.
Nah, berkaitan dengan ibadah puasa, orang awam dalam pengertian pertama, tentulah orang (Islam) yang hanya mengetahui bahwa puasa itu kewajiban atau salah satu rukun Islam dan harus dikerjakan. Menurut mereka, mengerjakan puasa harus dengan niat di malam hari dan tidak makan, minum, bersetubuh pada siang hari. Lalu siapa orang khusus dalam hal ini?
Ahli fikih mungkin bisa dianggap sebagai orang khusus, karena mengetahui lebih dari orang kebanyakan. Misalnya, mereka tahu persis syarat rukun puasa. Mereka juga tahu kewajiban dan kesunahan serta apa saja yang membatalkan puasa. Begitu juga dengan segala rincian hukum puasa.
Meski demikian, ada yang lebih khusus lagi. Yakni, mereka yang menganggap puasa itu tidak sekadar mengetahui syarat dan rukunnya. Apalagi sekadar tidak makan, minum, dan bersetubuh pada siang hari.
Lebih dari itu, bagi mereka, puasa adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak diridai Allah. Dia tidak berbohong, tidak menggunjing orang lain, tidak sombong, tidak pamer, tidak melukai hati orang, tidak bicara buruk, dan sebagainya.
Namun bagi kalangan sufi, mereka semua itu termasuk orang awam. Ahli sufi yang sudah sampai makrifat Allah, sedetik saja tidak ingat Allah, batallah puasanya. Kalau kita mengambil standar mereka yang sudah makrifat, tentu kita semua adalah orang awam.
Masuk Neraka
Waba'du; Allah SWT tidak hanya Tuhan mereka yang sudah makrifat. Tidak hanya Tuhan para ahli fikih, dan tidak hanya Tuhannya hamba-hamba yang khusus. Allah adalah Tuhannya seluruh makhluk, termasuk orang-orang awam.
Orang-orang (muslimin) awam dambaannya tidak lebih dari pahala dan paling puncak adalah surga. Orang awam memandang, Allah mungkin itu sekadar majikan dan mereka buruh.
Asal perintah majikan sudah dijalankan, sesuatu pemahaman dan sebatas kemampuannya, mereka boleh berharap mendapat pahala dan kelak masuk surga. Titik. Allah Asysyakuur pun menurut keyakinan saya - wallahu a'lam- pasti menghargai dan tidak akan mengecewakan harapan mereka itu.
Bagi orang-orang khusus yang sudah mencapai tataran makrifat, surga memang bukan iming-iming yang menggiurkan. Bahkan sufi perempuan dari Bashrah, Rabi'ah Adawiyah, dengan lantang munajat kepada Tuhannya, "Ya Allah, apabila aku beribadah kepada-Mu karena menginginkan surga-Mu, haramkanlah aku masuk ke surga-Mu. Namun apabila aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, ceburkan saja aku ke neraka-Mu. Aku hanya menginginkan-Mu."
Lebih dahsyat lagi, perempuan suci itu memohon kepada Allah, "Ya Allah ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam neraka dan jadikanlah tubuhku sedemikian besarnya sehingga memenuhi ruang neraka, agar tempat itu tak muat lagi untuk dimasuki hamba-Mu yang lain."
Itulah orang-orang khusus. Bagi kita yang awam, hal paling penting adalah bagaimana bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah.
Dalam hal puasa, kita betul-betul berusaha seikhlas mungkin menjalankannya sesuai dengan pemahaman dan kekuatan kita. Artinya, kita usahakan menjalankannya hanya semata-mata karena Allah. Sejauh mungkin menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merusak kesucian Ramadan dan puasa kita.
Apabila yang halal-halal saja, seperti makan dan minum, kita hindari, lebih-lebih yang haram-haram seperti berdusta atau ngrasani orang.
Mudah-mudahan Allah menerima puasa dan amal-amal ibadah kita yang lain. Amin.[]
Dr. KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
Sumber : pratikno.ananto@gmail.com
Nah, berkaitan dengan ibadah puasa, orang awam dalam pengertian pertama, tentulah orang (Islam) yang hanya mengetahui bahwa puasa itu kewajiban atau salah satu rukun Islam dan harus dikerjakan. Menurut mereka, mengerjakan puasa harus dengan niat di malam hari dan tidak makan, minum, bersetubuh pada siang hari. Lalu siapa orang khusus dalam hal ini?
Ahli fikih mungkin bisa dianggap sebagai orang khusus, karena mengetahui lebih dari orang kebanyakan. Misalnya, mereka tahu persis syarat rukun puasa. Mereka juga tahu kewajiban dan kesunahan serta apa saja yang membatalkan puasa. Begitu juga dengan segala rincian hukum puasa.
Meski demikian, ada yang lebih khusus lagi. Yakni, mereka yang menganggap puasa itu tidak sekadar mengetahui syarat dan rukunnya. Apalagi sekadar tidak makan, minum, dan bersetubuh pada siang hari.
Lebih dari itu, bagi mereka, puasa adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak diridai Allah. Dia tidak berbohong, tidak menggunjing orang lain, tidak sombong, tidak pamer, tidak melukai hati orang, tidak bicara buruk, dan sebagainya.
Namun bagi kalangan sufi, mereka semua itu termasuk orang awam. Ahli sufi yang sudah sampai makrifat Allah, sedetik saja tidak ingat Allah, batallah puasanya. Kalau kita mengambil standar mereka yang sudah makrifat, tentu kita semua adalah orang awam.
Masuk Neraka
Waba'du; Allah SWT tidak hanya Tuhan mereka yang sudah makrifat. Tidak hanya Tuhan para ahli fikih, dan tidak hanya Tuhannya hamba-hamba yang khusus. Allah adalah Tuhannya seluruh makhluk, termasuk orang-orang awam.
Orang-orang (muslimin) awam dambaannya tidak lebih dari pahala dan paling puncak adalah surga. Orang awam memandang, Allah mungkin itu sekadar majikan dan mereka buruh.
Asal perintah majikan sudah dijalankan, sesuatu pemahaman dan sebatas kemampuannya, mereka boleh berharap mendapat pahala dan kelak masuk surga. Titik. Allah Asysyakuur pun menurut keyakinan saya - wallahu a'lam- pasti menghargai dan tidak akan mengecewakan harapan mereka itu.
Bagi orang-orang khusus yang sudah mencapai tataran makrifat, surga memang bukan iming-iming yang menggiurkan. Bahkan sufi perempuan dari Bashrah, Rabi'ah Adawiyah, dengan lantang munajat kepada Tuhannya, "Ya Allah, apabila aku beribadah kepada-Mu karena menginginkan surga-Mu, haramkanlah aku masuk ke surga-Mu. Namun apabila aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, ceburkan saja aku ke neraka-Mu. Aku hanya menginginkan-Mu."
Lebih dahsyat lagi, perempuan suci itu memohon kepada Allah, "Ya Allah ya Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam neraka dan jadikanlah tubuhku sedemikian besarnya sehingga memenuhi ruang neraka, agar tempat itu tak muat lagi untuk dimasuki hamba-Mu yang lain."
Itulah orang-orang khusus. Bagi kita yang awam, hal paling penting adalah bagaimana bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah.
Dalam hal puasa, kita betul-betul berusaha seikhlas mungkin menjalankannya sesuai dengan pemahaman dan kekuatan kita. Artinya, kita usahakan menjalankannya hanya semata-mata karena Allah. Sejauh mungkin menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merusak kesucian Ramadan dan puasa kita.
Apabila yang halal-halal saja, seperti makan dan minum, kita hindari, lebih-lebih yang haram-haram seperti berdusta atau ngrasani orang.
Mudah-mudahan Allah menerima puasa dan amal-amal ibadah kita yang lain. Amin.[]
Dr. KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
Sumber : pratikno.ananto@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar