Lahir di Giriloyo pada hari Selasa Kliwon tanggal 10 Nopember 1942 M atau tanggal 1 Dzulqo’dah 1361 H. Tanggal ini oleh H. Asyhari Marzuqi dikira-kira sendiri, karena ayahnya (Mbah Marzuqi) tidak menuliskan tanggal kelahirannya. Beliau hanya berkata pada H. Asyhari Marzuqi, “kamu lahir pada saat Jepang memasuki kota Yogyakarta”.
Tahun 1949, Asyhari Marzuqi masuk ke sekolah SR (Sekolah Rakyat) yang ada di Singosaren Wukirsari. Tapi karena letak sekolahan ini dekat dengan jalan besar yang sewaktu-waktu ada patroli Jepang, akhirnya sekolah itu diungsikan agak ke timur, tepatnya di Giriloyo, sampai kira-kira Asyhari kecil menginjak kelas 2. Kemudian kelas tiganya pindah lagi ke Singosaren, kelas 4 dan 5 dipindahkan lagi ke Puroloyo Imogiri dan kelas 6 nya pindah lagi ke Gestrikan (sekarang ada di timur Puskesmas Imogiri).
Lulus dari SR pada tahun 1955, Asyhari langsung ke Krapyak. Pada saat itu di Krapyak sudah ada pendidikan tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pendidikan itu jika ditempuh secara normal akan memakan waktu selama 10 tahun, yaitu Ibtidaiyah 4 tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan Aliyah 3 tahun. Tapi karena kersane Kiai Ali Maksum (Pengasuh Pondok Krapyak) pendidikan itu oleh H. Asyhari Marzuqi tidak ditempuh selama 10 tahun, karena terkadang dalam satu tahun beliau bisa naik dua kali. Ibtidaiyah di tempuhnya selama 2 tahun, Tasanawiyah 2 tahun dan Aliyah 2 tahun. Pada tahun 1959, ketika H. Asyhari Marzuqi masuk kelas satu Aliyah, oleh mBah Ali Maksum beliau disuruh ikut mengajar adik-adik kelasnya, sehingga pada saat itu beliau kalau pagi mengajar dan sorenya sekolah di Aliyah.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah (1961), beliau ditawari oleh Kiai Ali untuk melanjutkan studinya di Madinah. Bersama Gus Bik (Attabik Ali, putra Kiai Ali), Asyhari ikut mendaftar. Tapi pada saat itu yang berangkat Gus Bik. Tujuh bulan setelah keberadaannya di Madinah ternyata Gus Attabik tidak kerasan, kemudian kembali ke Krapyak. keinginan Kiai Ali supaya H. Asyhari Marzuqi menggantikan Gus Bik pun tidak terlaksana, karena ternyata jatah Gus Bik itu sudah digantikan oleh orang lain. Akhirnya, beliau kembali lagi ke Krapyak untuk mengajar.
Pada suatu hari H. Asyhari Marzuqi datang ke pak Kyai Musaddad yang tempat tinggalnya ada di daerah barat Malioboro. Asyhari mengutarakan keinginan untuk belajar di Timur Tengah. Tetapi oleh beliau, Asyhari disarankan untuk menempuh jalur yang semestinya, “kalau kamu ingin pergi ke Timur tengah, ya harus melewati jalur yang semestinya, masuklah IAIN.” begitu katanya. Atas saran Kyai Musaddad, menjelang GESTAPU (gerakan 30 September oleh PKI), H. Asyhari Marzuqi masuk ke IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah jurusan Tafsir Hadits. Dunia pendidikan pada saat itu sedang kacau. Pada saat menjelang Gestapu itu hampir semua sekolahan libur. Sementara di IAIN sendiri sedang terjadi demo besar-besaran terhadap Rektor ( Prof. Soenaryo). Para demonstran itu meminta Rektor untuk mundur dari jabatannya dengan tuduhan bahwa Rektor telah melakukan NU-isasi di lingkungan IAIN. Sehingga dengan adanya dua permasalahan tersebut praktis tidak ada perkuliahan.
Tahun 1968 ketika perkuliahan sudah aktif (H. Asyhari Marzuqi kira-kira semester 7), oleh Prof. Hasbi Asshiddiqi Asyhari Marzuqi dijadikan asisten untuk mengajar adik-adik yang ada di semester awal untuk mata kuliah Bahasa Arab, Nahwu dan Shorf. Ketika mengajar itulah H. Asyhari Marzuqi mengenal Malik Madani (sekarang Dekan Fak. Syariah), Ali As’ad (sekarang politisi) masuk menjadi mahasiswa baru IAIN. Untuk membedakan komponen yang ada di IAIN, pada waktu itu ada atribut yang harus dikenakan oleh seluruh civitas akademika. Dosen dan Asisten pakai atribut (Badge) warna putih dan mahasiswa pakai atribut (Badge) warna hijau. Sehingga terkadang Asyhari Marzuqi kalau pagi pakai atribut warna hijau kemudian siang pakai yang warna putih.
Pada tahun 1970 oleh Prof. Hasbi, Asyhari Marzuqi diminta untuk mengajukan permohonan menjadi Dosen di IAIN. Tapi, karena merasa belum cukup ilmu, beliau tidak menerima tawaran itu. Akan tetapi dari tawaran itulah, Asyhari terpacu untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
Setelah lulus dari IAIN (sekitar tahun 1971), keinginan untuk belajar ke Timur Tengah kembali menguat. Dengan biaya sendiri, akhirnya Asyhari Marzuqi ke Timur Tengah. Ia sangat berharap dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2) pada disiplin ilmu yang telah ditekuni di Indonesia.
Ada kisah yang cukup heroik menjelang keberangkatannya ke Timur Tengah. Ceritanya, setelah mendapatkan paspor dan akan berangkat ke Iraq. Asyhari Marzuqi bermaksud sowan kepada bapak RH. Suwardiyono (Pendiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Bina Putra) di Gunungkidul. Saat itu masih belum banyak kendaraan angkutan bis. Sehingga apabila ada bis yang Gunungkidul pasti penuh sesak oleh penumpang. Bis yang di dalamnya Asyhari Marzuqi menumpang pada saat itu sudah tidak muat lagi. Karena banyaknya penumpang, akhirnya belasan orang rela berada di atas atap bis. Asyhari pada waktu itu mendapat tempat duduk persis di samping kiri sopir dan disebelah kirinya ada seorang penumpang yang berdiri.Bis yang penuh sesak oleh penumpang itu melaju menuju Wonosari seperti biasa. Sesampai di tikungan irung petruk (Desa Karangsari kec. Patuk), bis masih terkendali. Tetapi setelah tikungan tajam ke kiri, ternyata bis tidak bisa dikendalikan lagi oleh sopir. Bahaya pun datang mengancam karena 15 meter di depan bis itu adalah jurang yang sangat dalam. Sang sopir yang sudah berusaha membanting stir itu bergumam lirih sekali, “aduh, mati!” Hanya Asyhari yang mendengarnya. Benar!. Bis meluncur deras masuk jurang yang dalam itu. Bis menjungkir dan kepala bis lebih dulu menghantam tanah. Kemudian jatuh ke kanan.
Belasan orang meninggal dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Belasan lainnya luka berat. Ada yang patah kaki, tangan, dan sebagainya. Kekuasaan Allah berbicara lain pada Asyhari. Hanya karena pertolongan Allah semata beliau dapat selamat. Tak ada sedikit pun luka menggores kulitnya. Padahal secara matematis, mestinya Asyhari, sopir dan orang yang berdiri itu yang terlebih dahulu terkena kaca dan menabrak bongkahan batu mengingat posisi bis yang jungkir ke bawah. Kehendak Allah, orang yang berdiri di samping Asyhari ngglosor persis di depannya, sehingga posisi Asyhari terhalang oleh orang itu dari pecahan kaca dan benturan batu. Asyhari selamat. Bahkan tidak mengalami pingsan, tidak ada luka. Ia kembali ke Yogya dengan selamat. Tetapi dua hari setelah kejadian itu, seluruh tubuhnya terasa sakit tak terkira.
Asyhari Marzuqi berangkat ke Timur Tengah dengan negara tujuan Iraq. Orang-orang seperti KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden RI), KH. Irfan Zidni (sekarang PBNU) dan yang lainnya sudah berada di sana terlebih dahulu. Beliau berkeinginan untuk menemui mereka. Dengan membawa nama Bapak Mahfudz Ridwan dari Salatiga beliau menemui mereka.
Kedatangan Asyhari Marzuqi di negeri seribu satu malam disambut dengan hangat oleh para mahasiswa yang sudah terlebih dahulu datang. Bahkan Irfan Zidni ikut membantu mencarikannya beasiswa. Ternyata di Iraq tidak ada beasiswa S2 untuk program Syari’ah. “Pupus harapanku untuk melanjutkan S2,” kata hatinya. Namun di sana ada satu kelompok pengajian yang berdiri sejak muridnya Imam Abu Hanifah (sekitar tahun 400-an Hijriyah). Lembaga ini dipelihara dan dikelola dengan baik sekali.
Di lembaga yang bernama “Kulliyatul Imam al-A’zhom” itulah yang akhirnnya H. Asyhari Marzuqi kembali memperdalam pengetahuannya. Waktu itu beliau mendapatkan beasiswa sebesar 15 Dinar perbulan. 1 Dinar sama dengan US $ 3 waktu itu. Beasiswa tersebut cukup untuk bekal hidup dan sedikit membeli buku. Beasiswa itu diterimanya sampai tahun ke-5 berada di Iraq.
Teman-teman belajarnya di Kulliyatul Imam al-A’zhom adalah para khatib dan alim ulama dari negara-negara Timur Tengah. Yang paling banyak datang dari Kurdistan. Mereka ini walaupun sudah menjadi khatib namun belum mempunyai ijazah. Sehingga tidak heran ketika para dosen di tempat itu justru memanggil kawan-kawan Asyhari Marzuqi dengan panggilan “ustadz” karena memang umurnya lebih tua.
Orang-orang Kurdistan ini rata-rata mempunyai daya hafal yang luar biasa. Sehingga Asyhari Marzuqi tidak kaget apabila kitab-kitab seperti Alfiyah, Shohih Bukhori dan Muslim mereka hafal semua. Namun, Alhamdulillah H. Asyhari Marzuqi saat itu masih dapat rangking 3. Prestasi itu membuat H. Asyhari Marzuqi mendapatkan ucapan selamat (penghargaan) dari Menteri Penerangan RI.
Lima tahun setelah mendapatkan beasiswa, H. Asyhari Marzuqi bekerja di Kedutaan Besar RI di Iraq. Dubesnya saat itu adalah Malik Kuswadi orang Jakarta. Tugas H. Asyhari Marzuqi di Kedutaan besar itu pada awalnya adalah menterjemah surat kabar Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sehari beliau terkadang bisa menyelesaikan 3 sampai 4 surat kabar.
Keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 masih tinggi. H. Asyhari Marzuqi berusaha mencari beasiswa ke Kairo tapi selalu gagal. Akhirnya H. Asyhari Marzuqi mengambil S2 untuk program kuliah jarak jauh (kalau di Indonesia semacam UT) yang ada di Kairo Mesir (Afrika) yaitu di “al-Dirasah al-Islamiyah” dengan biaya pada waktu itu sebesar US $115. Ketika akan mengikuti ujian masuk program itulah (tahun 1978) H. Asyhari Marzuqi mendapatkan telegram dari rumah yang isinya “disuruh pulang”. Beliau pulang dengan meninggalkan ujian.
H. Asyhari Marzuqi pulang ke Indonesia dengan selamat. Sesampai di rumah, oleh Mbah Marzuqi, beliau disuruh untuk memilih calon pendamping hidup. Calon yang disodorkan kepadanya adalah seorang gadis dari Watucongol Muntilan dan seorang putri mBah Kiai pengasuh pondok Somolangu Kebumen. Pilihannya jatuh pada putri mBah Kiai dari Kabumen. Kemudian beliau datang ke Pondok Somolangu di Kebumen. Sesampainya di sana, H. Asyhari Marzuqi disambut dengan luar biasa oleh mBah Kiai. Namun ketika H. Asyhari Marzuqi akan khitbah pada putrinya, beliau dihalang-halangi (tidak diperbolehkan) oleh kakak iparnya (menantu mBah Kiai) padahal sang putri yang mondok di Solo itu sudah ada di rumah karena disuruh pulang untuk acara tersebut. Ketidakbolehan itu karena sang kakak sudah punya calon untuk adiknya yaitu orang dari Jakarta yang kaya.
H. Asyhari Marzuqi pulang ke rumah dengan hati yang masygul. Oleh pak Nurhadi (Tlenggongan Imogiri) beliau disarankan ke Ngrukem Bantul. H. Nurhadi memberinya selembar foto Ibu Nyai Hj. Barokah. Melihat foto itu H. Asyhari Marzuqi langsung setuju. Setelah semuanya diatur, 4 hari berikutnya H. Asyhari Marzuqi menikah dengan Ibu Nyai Hj. Barokah putri dari mBah Kiai Nawawi Abdul Aziz Ngrukem Bantul. Dua hari setelah menikah, H. Asyhari Marzuqi mengantarkan ibu (Hj. Barokah) ke pondoknya di Kediri. Dan dua hari setelah mengantarkan itu, H. Asyhari Marzuqi kembali ke Iraq dan menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Delapan bulan setelah menikah, pada tahun 1979, ibu Nyai Hj. Barokah menyusul ke Iraq. Saat itu keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 sudah mulai melemah karena selalu gagal mendapatkan beasiswa. Kekecewaan ini akhirnya H. Asyhari Marzuqi lampiaskan dengan membeli kitab-kitab. Pelampiasan ini kemudian menjadi suatu hobi tersendiri bagi H. Asyhari Marzuqi. Sehingga setiap saat ada uang dan kesempatan langsung ia membeli kitab.
Sampai H. Asyhari Marzuqi kembali ke Indonesia pada tahun 1985 ada sekitar 1015 judul kitab dan buku yang telah H. Asyhari Marzuqi beli. Untuk mengirimkan ke rumah di Giriloyo, H. Asyhari Marzuqi titipkan sebagian kitab-kitab itu kepada para diplomat pada waktu mereka kembali ke Indonesia. Karena mereka punya jatah barang bawaan yang banyak di pesawat. Sebagian yang lain buku-buku itu dikirim lewat jasa Pos. Tetapi tidak semua kitab-kitab yang dikirimkan, baik yang dititipkan maupun lewat pos itu sampai ke tempat tujuan di Giriloyo dengan utuh. Kitab-kitab itu banyak yang hilang dan beliau tidak tahu di mana hilangnya.
Pembelian kitab-kitab itu ternyata memberikan pengaruh (atsar) yang besar sekali terhadap hari-hari H. Asyhari Marzuqi selanjutnya. Beliau tidak bisa membayangkan seandainya uang yang diperoleh dari pekerjaannya dahulu itu tidak dibelikan kitab, mungkin beliau tidak memiliki tinggalan (kenangan) pada generasinya nanti. “Seandainya pada saat itu gaji yang diperoleh disimpan dalam bentuk uang mungkin sudah habis sejak dahulu,” kata beliau.
Mengasuh PPNU
Pada tahun 1982, H. Asyhari Marzuqi mendapat telegram dari rumah yang isinya Mbah Marzuqi telah membeli tanah (sekarang menjadi bangunan ndalem) dan mendapat tanah wakaf dari pak H. Anwar untuk didirikan bangunan pondok (Lihat BAB I). H. Asyhari Marzuqi diminta pulang untuk membicarakan masalah Pondok.
Tahun 1985 H. Asyhari Marzuqi meniggalkan negeri Syaikh Abdul Qadir Jilani itu untuk kembali ke tanah kelahiran. H. Asyhari Marzuqi pulang bersama dengan ibu Nyai Hj. Barokah. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Ramadlan di pondok Nurul Ummah mulai diadakan pengajian. Saat itu ada 27 santri, yang terdiri dari 25 santri putra dan 2 santri putri.
Pandangan Hidup dan Mauidzah
H. Asyhari Marzuqi selalu berusaha menanamkan rasa pengabdian dan kecintaan, dalam rangka mempersiapkan akhirat. Tuntunan atau pandangan itu terilhami oleh konsep “Addunya Mazro’atul akhirah” : bahwa dunia itu hanya sekedar sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dunia itu fana, tidak kekal, sehingga dengan ketidakkekalannya itu harus dipergunakan dengan maksimal agar bisa mencapai kebahagiaan akhirat yang kekal. Oleh karena itulah dunia ini dinamakan dar at-taklif yaitu tempat mengemban amanat, mengemban tugas-tugas dari Allah Swt. Karena kalau sudah di akhirat nanti bukan lagi sebagai dar at-taklif , tetapi sebagai dar al-jaza’, yaitu suatu tempat untuk menerima upah dan imbalan atas sesuatu yang telah kita lakukan di dunia dahulu.
- Dari berbagai Sumber (Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com) -
Lulus dari SR pada tahun 1955, Asyhari langsung ke Krapyak. Pada saat itu di Krapyak sudah ada pendidikan tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Pendidikan itu jika ditempuh secara normal akan memakan waktu selama 10 tahun, yaitu Ibtidaiyah 4 tahun, Tsanawiyah 3 tahun dan Aliyah 3 tahun. Tapi karena kersane Kiai Ali Maksum (Pengasuh Pondok Krapyak) pendidikan itu oleh H. Asyhari Marzuqi tidak ditempuh selama 10 tahun, karena terkadang dalam satu tahun beliau bisa naik dua kali. Ibtidaiyah di tempuhnya selama 2 tahun, Tasanawiyah 2 tahun dan Aliyah 2 tahun. Pada tahun 1959, ketika H. Asyhari Marzuqi masuk kelas satu Aliyah, oleh mBah Ali Maksum beliau disuruh ikut mengajar adik-adik kelasnya, sehingga pada saat itu beliau kalau pagi mengajar dan sorenya sekolah di Aliyah.
Setelah lulus dari Madrasah Aliyah (1961), beliau ditawari oleh Kiai Ali untuk melanjutkan studinya di Madinah. Bersama Gus Bik (Attabik Ali, putra Kiai Ali), Asyhari ikut mendaftar. Tapi pada saat itu yang berangkat Gus Bik. Tujuh bulan setelah keberadaannya di Madinah ternyata Gus Attabik tidak kerasan, kemudian kembali ke Krapyak. keinginan Kiai Ali supaya H. Asyhari Marzuqi menggantikan Gus Bik pun tidak terlaksana, karena ternyata jatah Gus Bik itu sudah digantikan oleh orang lain. Akhirnya, beliau kembali lagi ke Krapyak untuk mengajar.
Pada suatu hari H. Asyhari Marzuqi datang ke pak Kyai Musaddad yang tempat tinggalnya ada di daerah barat Malioboro. Asyhari mengutarakan keinginan untuk belajar di Timur Tengah. Tetapi oleh beliau, Asyhari disarankan untuk menempuh jalur yang semestinya, “kalau kamu ingin pergi ke Timur tengah, ya harus melewati jalur yang semestinya, masuklah IAIN.” begitu katanya. Atas saran Kyai Musaddad, menjelang GESTAPU (gerakan 30 September oleh PKI), H. Asyhari Marzuqi masuk ke IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah jurusan Tafsir Hadits. Dunia pendidikan pada saat itu sedang kacau. Pada saat menjelang Gestapu itu hampir semua sekolahan libur. Sementara di IAIN sendiri sedang terjadi demo besar-besaran terhadap Rektor ( Prof. Soenaryo). Para demonstran itu meminta Rektor untuk mundur dari jabatannya dengan tuduhan bahwa Rektor telah melakukan NU-isasi di lingkungan IAIN. Sehingga dengan adanya dua permasalahan tersebut praktis tidak ada perkuliahan.
Tahun 1968 ketika perkuliahan sudah aktif (H. Asyhari Marzuqi kira-kira semester 7), oleh Prof. Hasbi Asshiddiqi Asyhari Marzuqi dijadikan asisten untuk mengajar adik-adik yang ada di semester awal untuk mata kuliah Bahasa Arab, Nahwu dan Shorf. Ketika mengajar itulah H. Asyhari Marzuqi mengenal Malik Madani (sekarang Dekan Fak. Syariah), Ali As’ad (sekarang politisi) masuk menjadi mahasiswa baru IAIN. Untuk membedakan komponen yang ada di IAIN, pada waktu itu ada atribut yang harus dikenakan oleh seluruh civitas akademika. Dosen dan Asisten pakai atribut (Badge) warna putih dan mahasiswa pakai atribut (Badge) warna hijau. Sehingga terkadang Asyhari Marzuqi kalau pagi pakai atribut warna hijau kemudian siang pakai yang warna putih.
Pada tahun 1970 oleh Prof. Hasbi, Asyhari Marzuqi diminta untuk mengajukan permohonan menjadi Dosen di IAIN. Tapi, karena merasa belum cukup ilmu, beliau tidak menerima tawaran itu. Akan tetapi dari tawaran itulah, Asyhari terpacu untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
Setelah lulus dari IAIN (sekitar tahun 1971), keinginan untuk belajar ke Timur Tengah kembali menguat. Dengan biaya sendiri, akhirnya Asyhari Marzuqi ke Timur Tengah. Ia sangat berharap dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S2) pada disiplin ilmu yang telah ditekuni di Indonesia.
Ada kisah yang cukup heroik menjelang keberangkatannya ke Timur Tengah. Ceritanya, setelah mendapatkan paspor dan akan berangkat ke Iraq. Asyhari Marzuqi bermaksud sowan kepada bapak RH. Suwardiyono (Pendiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Bina Putra) di Gunungkidul. Saat itu masih belum banyak kendaraan angkutan bis. Sehingga apabila ada bis yang Gunungkidul pasti penuh sesak oleh penumpang. Bis yang di dalamnya Asyhari Marzuqi menumpang pada saat itu sudah tidak muat lagi. Karena banyaknya penumpang, akhirnya belasan orang rela berada di atas atap bis. Asyhari pada waktu itu mendapat tempat duduk persis di samping kiri sopir dan disebelah kirinya ada seorang penumpang yang berdiri.Bis yang penuh sesak oleh penumpang itu melaju menuju Wonosari seperti biasa. Sesampai di tikungan irung petruk (Desa Karangsari kec. Patuk), bis masih terkendali. Tetapi setelah tikungan tajam ke kiri, ternyata bis tidak bisa dikendalikan lagi oleh sopir. Bahaya pun datang mengancam karena 15 meter di depan bis itu adalah jurang yang sangat dalam. Sang sopir yang sudah berusaha membanting stir itu bergumam lirih sekali, “aduh, mati!” Hanya Asyhari yang mendengarnya. Benar!. Bis meluncur deras masuk jurang yang dalam itu. Bis menjungkir dan kepala bis lebih dulu menghantam tanah. Kemudian jatuh ke kanan.
Belasan orang meninggal dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Belasan lainnya luka berat. Ada yang patah kaki, tangan, dan sebagainya. Kekuasaan Allah berbicara lain pada Asyhari. Hanya karena pertolongan Allah semata beliau dapat selamat. Tak ada sedikit pun luka menggores kulitnya. Padahal secara matematis, mestinya Asyhari, sopir dan orang yang berdiri itu yang terlebih dahulu terkena kaca dan menabrak bongkahan batu mengingat posisi bis yang jungkir ke bawah. Kehendak Allah, orang yang berdiri di samping Asyhari ngglosor persis di depannya, sehingga posisi Asyhari terhalang oleh orang itu dari pecahan kaca dan benturan batu. Asyhari selamat. Bahkan tidak mengalami pingsan, tidak ada luka. Ia kembali ke Yogya dengan selamat. Tetapi dua hari setelah kejadian itu, seluruh tubuhnya terasa sakit tak terkira.
Asyhari Marzuqi berangkat ke Timur Tengah dengan negara tujuan Iraq. Orang-orang seperti KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (mantan Presiden RI), KH. Irfan Zidni (sekarang PBNU) dan yang lainnya sudah berada di sana terlebih dahulu. Beliau berkeinginan untuk menemui mereka. Dengan membawa nama Bapak Mahfudz Ridwan dari Salatiga beliau menemui mereka.
Kedatangan Asyhari Marzuqi di negeri seribu satu malam disambut dengan hangat oleh para mahasiswa yang sudah terlebih dahulu datang. Bahkan Irfan Zidni ikut membantu mencarikannya beasiswa. Ternyata di Iraq tidak ada beasiswa S2 untuk program Syari’ah. “Pupus harapanku untuk melanjutkan S2,” kata hatinya. Namun di sana ada satu kelompok pengajian yang berdiri sejak muridnya Imam Abu Hanifah (sekitar tahun 400-an Hijriyah). Lembaga ini dipelihara dan dikelola dengan baik sekali.
Di lembaga yang bernama “Kulliyatul Imam al-A’zhom” itulah yang akhirnnya H. Asyhari Marzuqi kembali memperdalam pengetahuannya. Waktu itu beliau mendapatkan beasiswa sebesar 15 Dinar perbulan. 1 Dinar sama dengan US $ 3 waktu itu. Beasiswa tersebut cukup untuk bekal hidup dan sedikit membeli buku. Beasiswa itu diterimanya sampai tahun ke-5 berada di Iraq.
Teman-teman belajarnya di Kulliyatul Imam al-A’zhom adalah para khatib dan alim ulama dari negara-negara Timur Tengah. Yang paling banyak datang dari Kurdistan. Mereka ini walaupun sudah menjadi khatib namun belum mempunyai ijazah. Sehingga tidak heran ketika para dosen di tempat itu justru memanggil kawan-kawan Asyhari Marzuqi dengan panggilan “ustadz” karena memang umurnya lebih tua.
Orang-orang Kurdistan ini rata-rata mempunyai daya hafal yang luar biasa. Sehingga Asyhari Marzuqi tidak kaget apabila kitab-kitab seperti Alfiyah, Shohih Bukhori dan Muslim mereka hafal semua. Namun, Alhamdulillah H. Asyhari Marzuqi saat itu masih dapat rangking 3. Prestasi itu membuat H. Asyhari Marzuqi mendapatkan ucapan selamat (penghargaan) dari Menteri Penerangan RI.
Lima tahun setelah mendapatkan beasiswa, H. Asyhari Marzuqi bekerja di Kedutaan Besar RI di Iraq. Dubesnya saat itu adalah Malik Kuswadi orang Jakarta. Tugas H. Asyhari Marzuqi di Kedutaan besar itu pada awalnya adalah menterjemah surat kabar Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sehari beliau terkadang bisa menyelesaikan 3 sampai 4 surat kabar.
Keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 masih tinggi. H. Asyhari Marzuqi berusaha mencari beasiswa ke Kairo tapi selalu gagal. Akhirnya H. Asyhari Marzuqi mengambil S2 untuk program kuliah jarak jauh (kalau di Indonesia semacam UT) yang ada di Kairo Mesir (Afrika) yaitu di “al-Dirasah al-Islamiyah” dengan biaya pada waktu itu sebesar US $115. Ketika akan mengikuti ujian masuk program itulah (tahun 1978) H. Asyhari Marzuqi mendapatkan telegram dari rumah yang isinya “disuruh pulang”. Beliau pulang dengan meninggalkan ujian.
H. Asyhari Marzuqi pulang ke Indonesia dengan selamat. Sesampai di rumah, oleh Mbah Marzuqi, beliau disuruh untuk memilih calon pendamping hidup. Calon yang disodorkan kepadanya adalah seorang gadis dari Watucongol Muntilan dan seorang putri mBah Kiai pengasuh pondok Somolangu Kebumen. Pilihannya jatuh pada putri mBah Kiai dari Kabumen. Kemudian beliau datang ke Pondok Somolangu di Kebumen. Sesampainya di sana, H. Asyhari Marzuqi disambut dengan luar biasa oleh mBah Kiai. Namun ketika H. Asyhari Marzuqi akan khitbah pada putrinya, beliau dihalang-halangi (tidak diperbolehkan) oleh kakak iparnya (menantu mBah Kiai) padahal sang putri yang mondok di Solo itu sudah ada di rumah karena disuruh pulang untuk acara tersebut. Ketidakbolehan itu karena sang kakak sudah punya calon untuk adiknya yaitu orang dari Jakarta yang kaya.
H. Asyhari Marzuqi pulang ke rumah dengan hati yang masygul. Oleh pak Nurhadi (Tlenggongan Imogiri) beliau disarankan ke Ngrukem Bantul. H. Nurhadi memberinya selembar foto Ibu Nyai Hj. Barokah. Melihat foto itu H. Asyhari Marzuqi langsung setuju. Setelah semuanya diatur, 4 hari berikutnya H. Asyhari Marzuqi menikah dengan Ibu Nyai Hj. Barokah putri dari mBah Kiai Nawawi Abdul Aziz Ngrukem Bantul. Dua hari setelah menikah, H. Asyhari Marzuqi mengantarkan ibu (Hj. Barokah) ke pondoknya di Kediri. Dan dua hari setelah mengantarkan itu, H. Asyhari Marzuqi kembali ke Iraq dan menjalankan aktivitas seperti biasanya.
Delapan bulan setelah menikah, pada tahun 1979, ibu Nyai Hj. Barokah menyusul ke Iraq. Saat itu keinginan H. Asyhari Marzuqi untuk S2 sudah mulai melemah karena selalu gagal mendapatkan beasiswa. Kekecewaan ini akhirnya H. Asyhari Marzuqi lampiaskan dengan membeli kitab-kitab. Pelampiasan ini kemudian menjadi suatu hobi tersendiri bagi H. Asyhari Marzuqi. Sehingga setiap saat ada uang dan kesempatan langsung ia membeli kitab.
Sampai H. Asyhari Marzuqi kembali ke Indonesia pada tahun 1985 ada sekitar 1015 judul kitab dan buku yang telah H. Asyhari Marzuqi beli. Untuk mengirimkan ke rumah di Giriloyo, H. Asyhari Marzuqi titipkan sebagian kitab-kitab itu kepada para diplomat pada waktu mereka kembali ke Indonesia. Karena mereka punya jatah barang bawaan yang banyak di pesawat. Sebagian yang lain buku-buku itu dikirim lewat jasa Pos. Tetapi tidak semua kitab-kitab yang dikirimkan, baik yang dititipkan maupun lewat pos itu sampai ke tempat tujuan di Giriloyo dengan utuh. Kitab-kitab itu banyak yang hilang dan beliau tidak tahu di mana hilangnya.
Pembelian kitab-kitab itu ternyata memberikan pengaruh (atsar) yang besar sekali terhadap hari-hari H. Asyhari Marzuqi selanjutnya. Beliau tidak bisa membayangkan seandainya uang yang diperoleh dari pekerjaannya dahulu itu tidak dibelikan kitab, mungkin beliau tidak memiliki tinggalan (kenangan) pada generasinya nanti. “Seandainya pada saat itu gaji yang diperoleh disimpan dalam bentuk uang mungkin sudah habis sejak dahulu,” kata beliau.
Mengasuh PPNU
Pada tahun 1982, H. Asyhari Marzuqi mendapat telegram dari rumah yang isinya Mbah Marzuqi telah membeli tanah (sekarang menjadi bangunan ndalem) dan mendapat tanah wakaf dari pak H. Anwar untuk didirikan bangunan pondok (Lihat BAB I). H. Asyhari Marzuqi diminta pulang untuk membicarakan masalah Pondok.
Tahun 1985 H. Asyhari Marzuqi meniggalkan negeri Syaikh Abdul Qadir Jilani itu untuk kembali ke tanah kelahiran. H. Asyhari Marzuqi pulang bersama dengan ibu Nyai Hj. Barokah. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Ramadlan di pondok Nurul Ummah mulai diadakan pengajian. Saat itu ada 27 santri, yang terdiri dari 25 santri putra dan 2 santri putri.
Pandangan Hidup dan Mauidzah
H. Asyhari Marzuqi selalu berusaha menanamkan rasa pengabdian dan kecintaan, dalam rangka mempersiapkan akhirat. Tuntunan atau pandangan itu terilhami oleh konsep “Addunya Mazro’atul akhirah” : bahwa dunia itu hanya sekedar sarana untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dunia itu fana, tidak kekal, sehingga dengan ketidakkekalannya itu harus dipergunakan dengan maksimal agar bisa mencapai kebahagiaan akhirat yang kekal. Oleh karena itulah dunia ini dinamakan dar at-taklif yaitu tempat mengemban amanat, mengemban tugas-tugas dari Allah Swt. Karena kalau sudah di akhirat nanti bukan lagi sebagai dar at-taklif , tetapi sebagai dar al-jaza’, yaitu suatu tempat untuk menerima upah dan imbalan atas sesuatu yang telah kita lakukan di dunia dahulu.
- Dari berbagai Sumber (Dikutip dari pratikno.ananto@gmail.com) -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar